Kamis, 19 Desember 2013

Bersajak untuk Malaikat

Dalam keadaan sakit, ia masih melahirkan tulisan yang menjadi pembicaraan luas. Selama kakinya masih di bumi, Kunto ingin terus menulis.
Sebagai hadiah
Malaikat menanyakan
apakah aku ingin berjalan di atas mega
dan aku menolak
karena kakiku masih di bumi
sampai kejahatan terakhir dimusnahkan
sampai dhuafa dan mustadh'afin
diangkat Tuhan dari penderitaan

BARIS sajak itu dipetik dari kumpulan puisi Daun Makrifat Makrifat Daun, yang ditulis Kuntowijoyo pada 1995, selagi kesehatannya masih tergganggu. Sajak itu menggambarkan dengan jelas "perjuangan" seorang manusia yang sudah melihat kelebatan malaikat di sekitarnya. Namun ia tak mau begitu saja menyerah.

Ia menolak "berjalan di atas mega", walaupun diiming-imingi dengan hadiah yang barangkali tak pernah ada di dunia nyata. Ia masih ingin berada di bumi untuk melakukan kerja yang belum selesai: melibas kejahatan. Ia ingin sembuh. "Orang menjadi sakit dan mempunyai keinginan untuk sembuh adalah sesuatu yang wajar," kata dosen Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, itu.

Itulah gelora jiwa dan semangat hidup Kuntowijoyo, sastrawan, budayawan, sejarawan, dan intelektual Islam yang kini memasuki usia 54 tahun. Padahal langkah-langkah kakinya kian tertatih dan suaranya kelu, tak jelas artikulasi kalimat-kalimatnya. Dan kini penulis produktif dan pemikir Islam tangguh itu memang belum pulih benar dari sakit.

Sejak 7 Januari 1992, ia terserang radang selaput otak kecil, atau Meningo encephalitis, yang dapat menyebabkan kelumpuhan. Kunto -panggilan Kuntowijoyo- sempat dirawat secara serius di Ruang Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakarta, selama 35 hari dan kemudian harus menjalani rawat inap selama tiga bulan. Penyakit batu ginjal pun membayangi hidupnya.

Kini tiada hari tanpa obat bagi Kunto. Setidaknya, ada empat jenis obat yang harus diminum setiap hari, belum termasuk bermacam vitamin untuk menjaga kesehatannya. Kunto juga harus menjalani perawatan fisioterapi setiap dua hari dalam seminggu untuk melatih gerakan anggota tubuhnya. Sampai sekarang ia juga masih dalam pengawasan neurolog Dokter Samekto Wibowo, yang kebetulan adik kandungnya.

Kulitnya terlihat putih bersih, karena memang hampir enam tahun ia jarang keluar rumah. Tangannya masih terlihat gemetar jika digerakkan. Tanda tangannya pun sering tidak sama. "Akibatnya, tanda tangan saya tidak dipercaya di bank karena berubah-ubah. Maka sampai sekarang saya tak mempunyai nomor rekening di bank," kata Kunto, yang memang sejak sebelum sakit enggan berurusan dengan duit.

Dua hari sekali, setelah salat subuh, ia berjalan-jalan untuk melemaskan otot kakinya sampai sejauh 5 kilometer, ditemani Susilaningsih, istrinya yang setia. "Sebetulnya saya nggak punya hobi olahraga. Saya melakukan jalan pagi karena memang sudah menjadi kewajiban saya untuk menunjang kesehatan," kata pengagum tokoh pemikir Mohammad Iqbal itu.

Akhir-akhir ini kesehatannya berangsur pulih. Badannya terlihat segar, sedikit gemuk. Senyumannya selalu tersungging di bibir. Untuk berjalan, ia tak memerlukan lagi alat penopang dan bantuan orang lain seperti dulu. Kegiatannya sehari-hari kini, seperti makan dan minum, menyisir rambut, memakai kemeja dan celana, mandi, serta buang air kecil dan besar di kamar mandi, sudah bisa dilakukan sendiri. Jemarinya juga sudah lancar menari di atas keyboard komputer untuk merangkaikan kata-kata. Bahkan ia sudah berani naik-turun tangga dari lantai I ke lantai II di rumahnya tanpa bantuan orang lain. Bukan hanya itu, sejak tahun 1994, dua kali dalam seminggu, Senin dan Kamis, ia sudah pergi ke kampus UGM untuk mengajar.

Namun masih ada yang belum pulih benar: Kunto masih sulit melafalkan kalimat-kalimat dengan jelas. Maka istrinya, Ning - panggilan akrab Susilaningsih- wanita asli Karanganyar, Jawa Tengah, yang dinikahinya pada 8 November 1969, dengan setia selalu mendampinginya jika menerima tamu. Ning, dosen Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menjadi penerjemah ucapan-ucapan Kunto.

Bila wartawan datang, Ning bertindak menjembatani wawancara dengan suaminya. Bukan itu saja. Ning juga membacakan makalah Kunto dalam forum seminar. Jika bukan Ning, maka yang bertindak selaku penerjemah adalah Punang, putra sulung Kunto yang kini sedang menyelesaikan studinya di Jurusan Geologi, UGM.

Kesetiaan wanita yang akrab dengan baju muslimah ini tumbuh sejak keduanya berkenalan pada 1967. Mereka bersua di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, tempat Kunto sedang dirawat karena penyakit batu ginjal. Waktu itu Ning baru duduk di tingkat II di IAIN Sunan Kalijaga. Ning sedang menjenguk temannya yang sakit. Dua tahun kemudian mereka menikah. Kini mereka dikaruniai dua anak: Punang Amaripuja dan Alun Paradipta.

Sejak 1985, keduanya menempati rumah bertipe 70 di Jalan Ampel Gading 429, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta. Rumah itu dibeli dengan harga Rp 4,5 juta pada waktu itu. Kini rumah tersebut telah diperluas menjadi sekitar 180 meter persegi. Meskipun berlantai dua, rumah yang dominan dengan warna cokelat itu tampak sederhana. "Kami ini dosen. Nggak banyak duit. Jadi, ya harus pandai-pandai mengatur keuangan," kata Ning, alumnus Psychology Department, Hunter College of The City University of New York, tahun 1980.

Ruang tamunya yang berukuran sekitar 4 X 5 meter hanya diisi dengan meja kursi tamu warna cokelat tua, itu pun sudah lusuh. Tak ada lukisan di dinding. Satu-satunya hiasan berada di sudut ruang tamu, berupa kerajinan tangan berbentuk angsa yang terbuat dari tanah liat. Barangkali kekayaan yang dapat "dibanggakannya" hanyalah tumpukan buku. Ruang perpustakaan di lantai atas penuh sesak dengan buku. Ruang keluarga, ruang tamu, lantai atas, dan lantai bawah juga tak terbebas dari buku. Meja dan tangga ke lantai atas pun berisi buku-buku. Di sela-sela tebaran buku itu, tersembul piala-piala penghargaan untuk karya-karya tulisnya.

Kunto memang tak terpisahkan dari dunia buku dan tulis-menulis. Hari-harinya selalu diisi dengan membaca dan menulis. Itu dilakukannya sejak dulu, jauh sebelum terserang penyakit, hingga kini, dan entah sampai kapan.

Kunto bangun tidur sekitar pukul 03.30. Lalu ia salat tahajud, salat fajar, dan berzikir. Setelah itu ia menulis sampai beduk subuh tiba. Setelah salat subuh, masih mengenakan pakaian salat, Kunto menulis dan menulis lagi. Karena dua hari sekali ia mesti jalan pagi, maka kegiatan menulis dilanjutkan lagi setelah jalan pagi. Sore hari, sehabis tidur siang, ia kembali menulis. Dan sehabis salat isya, ia menulis lagi sampai tengah malam, bahkan kadang-kadang hingga pukul 02.00.

Ke mana pun perginya, ia selalu mengantongi sebuah notes -untuk mencatat ide-ide yang secara kebetulan muncul- di saku bajunya. Novel yang menjadi master piece-nya, Khotbah di Atas Bukit (1976), ternyata ditulisnya hanya sambil lalu, yaitu di sela- sela waktu mengajar.

Tradisi menulis Kunto sudah dimulai sejak ia masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah di sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah (1950-1956). Secara kebetulan, gurunya yang bernama Sariamsi Arifin adalah penyair. Dan seorang lagi, Yusmanam, juga dari Klaten, dikenal sebagai pengarang. Dua orang inilah yang membangkitkan gairah menulis Kunto. Hasilnya, sebuah novel berjudul Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari dimuat di Harian Jihad sebagai cerita bersambung.

Hari-hari berikutnya, karya-karyanya terus mengalir. Beberapa di antaranya merebut hadiah. Cerita pendeknya, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1968), memenangkan penghargaan pertama dari sebuah majalah sastra. Naskah dramanya berjudul Rumput- Rumput Danau Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973) juga mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Karya- karya intelektualnya antara lain Demokrasi dan Budaya (1994), Pengantar Ilmu Sejarah (1995), Metodologi Sejarah (1994), dan Radikalisme Petani (1993).

Setelah mengalami masa sulit karena sakit, Kunto mulai menulis lagi pada awal 1994. Saat itu jari-jemarinya mulai bisa digerakkan untuk menekan tuts keyboard. Diketiklah lagi puisi- puisinya yang masih ditulis dengan tangan. Lalu jadilah kumpulan puisi Daun Makrifat Makrifat Daun yang diterbitkan Gema Insani Press, 1995.

Sedangkan tulisan yang berupa gagasan atau ide yang dipublikasikan setelah sakit, berjudul Kesan untuk Ulama Madura (1994), telah dimuat di Tabloid Detik. "Emha Ainun Nadjib yang pertama menyuruh saya menulis itu," katanya seraya menambahkan bahwa selama sakit ia hanya mampu menyelesaikan satu tulisan dalam seminggu.

Bukunya yang terbaru, Identitas Politik Umat Islam, diterbitkan Mizan, Bandung, 1997, mengundang pujian kalangan intelektual. Menurut seorang pengamat yang mengikuti alam pikiran Kunto, inilah satu-satunya buku yang mampu menerjemahkan konsep perjuangan ke dalam langkah kongkret. Ada pula yang menilai buku barunya itu sebanding dengan best seller buku yang terbit enam tahun sebelumnya, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991). Hingga kini, lebih dari 50 judul buku telah lahir dari tangan Kunto, jumlah yang tergolong luar biasa. Itu belum termasuk kolom-kolomnya di berbagai media massa.

Terhadap umat Islam, Kunto secara mendasar telah melancarkan sebuah kritik. "Dalam politik, umat Islam seperti penumpang perahu yang berlayar di laut lepas, tanpa bintang dan tanpa kompas. Tidak tahu tujuan, dan tidak tahu cara berlayar. Kadang-kadang umat dibuat bingung, sebab panutannya berbuat seenaknya, lupa bahwa di belakangnya ada banyak orang. Karenanya, kaidah politik umat harus ditentukan dengan jelas sehingga umat terbebas dari temperamen pribadi seorang pemimpin. Bahkan seorang pemimpin harus mengikuti kaidah, dan bukan sebaliknya menentukan kaidah," kata Kunto, yang meraih gelar doktor dari Columbia University, Amerika Serikat, tahun 1980.

Tahun ini agaknya menjadi musim panen penghargaan bagi pria asli Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper, Klaten, yang lahir 18 September 1943 ini. Penghargaan itu, antara lain, Satyalencana Kebudayaan dan ASEAN Award on Culture and Information, yang trofinya cukup dibungkus dengan tas plastik dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke Yogyakarta, awal Agustus lalu.

Tahun ini pula karyanya berupa cerita pendek (cerpen), Anjing- Anjing Menyerbu Kuburan, meraih predikat cerpen terbaik versi Harian Kompas untuk yang ketiga kali. "Saya menjadi rikuh. Habis, menang terus," kata budayawan itu merendah. Makanya, ia menulis surat kepada Kompas agar tahun berikutnya cerpennya tak dimenangkan lagi, meskipun layak dimenangkan.

Joko Syahban dan Priyono B. Sumbogo

0 komentar:

Posting Komentar