Budayawan Kuntowijoyo rampung menulis novel Impian Amerika. Puisi dan cerpennya divisualisasikan.
BEBERAPA lelaki mencebur ke kolam. Mereka yang berendam di malam yang dingin itu lalu bersahutan membaca puisi. Usai itu, penonton diajak ke dalam gedung. Duduk di lantai, ditebari lilin-lilin yang menyala. Dua lelaki berambut lebat, dibungkus tali-tali putih, tampak menari dengan gerak-gerik mengungkapkan rasa rindu. Sembari menengadah, mereka mengentakkan kaki, mendesah -- sebuah keberdayaan melawan kekerasan hidup.
Berikutnya, rombongan lelaki dan wanita berkostum putih membuat gerak ritmis diiringi musik mendayu. Cahaya lampu warna-warni menyirami tubuh mereka, yang kini menaiki tangga bambu. Sesampainya di puncak anak tangga, mereka menggapai- gapai seolah meraih kasih agung Allah. Terdengar desahan. Lalu, sepi. Seorang wanita membaca puisi, "Jantung berdetak. Menggugurkan impian. Dari balik sepi. Merpati putih. Hinggap di pucuk kabut. Ketahuilah: kau rindukan kekosongan."
Adegan terakhir berlangsung di panggung. Sepuluh lelaki berkostum hitam
khusyuk membawa bunga-bunga, lalu duduk melingkar. Ada gadis berjilbab,
menyirami bunga di dalam pot. Ada lelaki mengaji. Ketika cahaya
menyorot, tampak patung karton yang digantung terbalik, berlumuran
darah. Penonton terkesiap.
Lalu seorang lelaki bermonolog, "Di luar matahari membakar. Hilir mudik kendaraan. Orang berjalan ke sana-kemari memburu waktu. Pabrik-pabrik berdentang. Mesin berputar. Di pasar orang bertengkar tentang harga. Pemimpin meneriakkan semboyan, kosong. Anak-anak bertengkar berebut layang-layang. Mereka menipu diri sendiri. Hidup ditemukan dalam ketenangan, bukan dalam hiruk-pikuk dunia. Tataplah bunga-bunga itu. Hawa dingin menyejuk hatimu. Engkau menemukan dirimu."
Adegan-adegan dimainkan oleh kelompok Pandan Sembilan, studi sastra dan teater IKIP Yogyakarta, Kelompok Penari Sakral, dan Teater Eska. Itulah yang berlangsung di Taman Budaya, Yogyakarta, Senin pekan lalu. Keseluruhan pentas tadi didasarkan pada antologi puisi Suluk Awang-Awung dan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga karya Kuntowijoyo. Karena itu pula tontonan yang diselenggarakan dalam rangkaian Festival Kesenian Yogya itu diberi tajuk Malam Kuntowijoyo, yang mendapat gemuruh tepuk tangan penonton.
Kuntowijoyo, 53 tahun, alumnus Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (1969), kini mengajar di almamaternya, meraih gelar MA dari Universitas Connecticut (1973). Ia memperoleh gelar Ph.D dari Universitas Columbia.
Selama tiga bulan Kuntowijoyo dirawat di RS Sarjito, Yogyakarta. Kini ia hampir sembuh, dan pulang ke rumahnya. Ayah dua anak itu menerima Kastoyo Ramelan dari Gatra, untuk sebuah wawancara. "Saya terus menulis," ujarnya. Hasilnya, sebuah novel baru berjudul Impian Amerika. Petikannya:
Mengapa Amerika menjadi tema dan ide novel Anda?
Cerita ini tentang 30 orang Indonesia yang datang ke New York. Masing-masing mempunyai latar belakang dan cita-cita yang berbeda. Mereka sama-sama tertarik Amerika karena punya impian Amerika. Impian itu adalah kebebasan, belenggu menjadi kemerdekaan. Mobilitas ekonomi, kemiskinan, menjadi kelimpahruahan. Tetapi, yang tersisa dari kebebasan itu, kebebasan jadi rusak, kafir, dan mati. Dalam novel ini orang akan diminta mengikuti 30 cerita yang alurnya beda. Dan pembaca ditanggung tak kehilangan jejak.
Bagaimana eksistensi penyair atau pengarang kita sekarang?
Penyair tidak semujur olahragawan atau artis. Meskipun penyair nasibnya buruk, masih lebih mampu menampilkan kepribadian Indonesia daripada teknologi, olahraga, dan kedokteran. Maka saya usul, mengangkat seni (yang kering uangnya) dengan subsidi dan promosi. Mungkin perlu semacam national endowment of art, yayasan nonprofit yang bergerak dalam seni, seperti KONI untuk olahraga.
Sastra kok tak populer?
Maksudnya sastra tak realistis karena hanya mengungkap khayalan? Khayalan penting dalam kehidupan. Bayangkan kehidupan orang tanpa khayalan, tanpa mimpi. Hanya robot yang tak punya khayalan. Tapi sastra lebih dari hanya khayal. Sastra adalah rekonstruksi dari realitas. "Sastra adalah strukturisasi pengalaman dan fenomenologi imajinasi, pembela moralitas," kata Ricard Kuhns. Novel membuat kita lebih arif. Kita bisa melihat realitas baru. Berbeda dengan sosiologi, novel dapat mengungkap data-data pribadi yang tak ada dalam sosiologi dan sejarah yang kolektif, dan mampu mengungkap data yang kasatmata.
Sastra dan seniman di Indonesia hanya memiliki publik khusus saja?
Sastra sebagai pembela moralitas. Barangkali itulah yang menjadikan sastra terpencil. Kesadaran akan keragaman manusia, banyak dimensi, tidak ideologis. Itu pula yang membedakan realisme kritis sekarang ini dari realisme sosialis di masa lalu. Realisme sosialis masa lalu kritis pada masyarakat borjuis dan afirmatif terhadap partai. Sedangkan realisme kritis masa kini masuk dalam budaya critical.
Bagaimana Islam dan seni? Atau lebih khusus lagi, bagaimana sikap Muhammadiyah (karena Anda tokoh Muhammadiyah) pada seni?
Sudah waktunya Muhammadiyah punya laboratorium budaya lokal. Sebab, selama ini gerakan puritanisme terbaca sebagai gerakan antibudaya. Saya bermimpi, suatu kali Muhammadiyah mengadakan festival kesenian lokal sehingga hapuslah sebuah stigma bahwa seolah-olah Muhammadiyah bertanggung jawab atas hilangnya kesenian lokal dari Islam.
BEBERAPA lelaki mencebur ke kolam. Mereka yang berendam di malam yang dingin itu lalu bersahutan membaca puisi. Usai itu, penonton diajak ke dalam gedung. Duduk di lantai, ditebari lilin-lilin yang menyala. Dua lelaki berambut lebat, dibungkus tali-tali putih, tampak menari dengan gerak-gerik mengungkapkan rasa rindu. Sembari menengadah, mereka mengentakkan kaki, mendesah -- sebuah keberdayaan melawan kekerasan hidup.
Berikutnya, rombongan lelaki dan wanita berkostum putih membuat gerak ritmis diiringi musik mendayu. Cahaya lampu warna-warni menyirami tubuh mereka, yang kini menaiki tangga bambu. Sesampainya di puncak anak tangga, mereka menggapai- gapai seolah meraih kasih agung Allah. Terdengar desahan. Lalu, sepi. Seorang wanita membaca puisi, "Jantung berdetak. Menggugurkan impian. Dari balik sepi. Merpati putih. Hinggap di pucuk kabut. Ketahuilah: kau rindukan kekosongan."
Ini hanya khayal |
Lalu seorang lelaki bermonolog, "Di luar matahari membakar. Hilir mudik kendaraan. Orang berjalan ke sana-kemari memburu waktu. Pabrik-pabrik berdentang. Mesin berputar. Di pasar orang bertengkar tentang harga. Pemimpin meneriakkan semboyan, kosong. Anak-anak bertengkar berebut layang-layang. Mereka menipu diri sendiri. Hidup ditemukan dalam ketenangan, bukan dalam hiruk-pikuk dunia. Tataplah bunga-bunga itu. Hawa dingin menyejuk hatimu. Engkau menemukan dirimu."
Adegan-adegan dimainkan oleh kelompok Pandan Sembilan, studi sastra dan teater IKIP Yogyakarta, Kelompok Penari Sakral, dan Teater Eska. Itulah yang berlangsung di Taman Budaya, Yogyakarta, Senin pekan lalu. Keseluruhan pentas tadi didasarkan pada antologi puisi Suluk Awang-Awung dan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga karya Kuntowijoyo. Karena itu pula tontonan yang diselenggarakan dalam rangkaian Festival Kesenian Yogya itu diberi tajuk Malam Kuntowijoyo, yang mendapat gemuruh tepuk tangan penonton.
Kuntowijoyo, 53 tahun, alumnus Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (1969), kini mengajar di almamaternya, meraih gelar MA dari Universitas Connecticut (1973). Ia memperoleh gelar Ph.D dari Universitas Columbia.
Selama tiga bulan Kuntowijoyo dirawat di RS Sarjito, Yogyakarta. Kini ia hampir sembuh, dan pulang ke rumahnya. Ayah dua anak itu menerima Kastoyo Ramelan dari Gatra, untuk sebuah wawancara. "Saya terus menulis," ujarnya. Hasilnya, sebuah novel baru berjudul Impian Amerika. Petikannya:
Mengapa Amerika menjadi tema dan ide novel Anda?
Cerita ini tentang 30 orang Indonesia yang datang ke New York. Masing-masing mempunyai latar belakang dan cita-cita yang berbeda. Mereka sama-sama tertarik Amerika karena punya impian Amerika. Impian itu adalah kebebasan, belenggu menjadi kemerdekaan. Mobilitas ekonomi, kemiskinan, menjadi kelimpahruahan. Tetapi, yang tersisa dari kebebasan itu, kebebasan jadi rusak, kafir, dan mati. Dalam novel ini orang akan diminta mengikuti 30 cerita yang alurnya beda. Dan pembaca ditanggung tak kehilangan jejak.
Bagaimana eksistensi penyair atau pengarang kita sekarang?
Penyair tidak semujur olahragawan atau artis. Meskipun penyair nasibnya buruk, masih lebih mampu menampilkan kepribadian Indonesia daripada teknologi, olahraga, dan kedokteran. Maka saya usul, mengangkat seni (yang kering uangnya) dengan subsidi dan promosi. Mungkin perlu semacam national endowment of art, yayasan nonprofit yang bergerak dalam seni, seperti KONI untuk olahraga.
Sastra kok tak populer?
Maksudnya sastra tak realistis karena hanya mengungkap khayalan? Khayalan penting dalam kehidupan. Bayangkan kehidupan orang tanpa khayalan, tanpa mimpi. Hanya robot yang tak punya khayalan. Tapi sastra lebih dari hanya khayal. Sastra adalah rekonstruksi dari realitas. "Sastra adalah strukturisasi pengalaman dan fenomenologi imajinasi, pembela moralitas," kata Ricard Kuhns. Novel membuat kita lebih arif. Kita bisa melihat realitas baru. Berbeda dengan sosiologi, novel dapat mengungkap data-data pribadi yang tak ada dalam sosiologi dan sejarah yang kolektif, dan mampu mengungkap data yang kasatmata.
Sastra dan seniman di Indonesia hanya memiliki publik khusus saja?
Sastra sebagai pembela moralitas. Barangkali itulah yang menjadikan sastra terpencil. Kesadaran akan keragaman manusia, banyak dimensi, tidak ideologis. Itu pula yang membedakan realisme kritis sekarang ini dari realisme sosialis di masa lalu. Realisme sosialis masa lalu kritis pada masyarakat borjuis dan afirmatif terhadap partai. Sedangkan realisme kritis masa kini masuk dalam budaya critical.
Bagaimana Islam dan seni? Atau lebih khusus lagi, bagaimana sikap Muhammadiyah (karena Anda tokoh Muhammadiyah) pada seni?
Sudah waktunya Muhammadiyah punya laboratorium budaya lokal. Sebab, selama ini gerakan puritanisme terbaca sebagai gerakan antibudaya. Saya bermimpi, suatu kali Muhammadiyah mengadakan festival kesenian lokal sehingga hapuslah sebuah stigma bahwa seolah-olah Muhammadiyah bertanggung jawab atas hilangnya kesenian lokal dari Islam.
0 komentar:
Posting Komentar