Kamis, 19 Desember 2013

Umar Kayam

Intelektual adalah seorang pemberani, yang terlibat dengan urusan bangsanya tapi tak memihak salah satu golongan. Ia tak sudi mereduksi kebenaran menjadi kekuasaan. Umar Kayam adalah seorang intelektual. 

PENULIS : KUNTOWIJOYO.

ANDAIKAN saya harus menuliskan biografi Pak Umar Kayam, maka tema pokok riwayat hidupnya ialah keberanian. Betapa tidak. Awal Orde Baru, tahun 1967, namanya berkibar sebagai elite birokrasi. Sebagai elite (Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film) ia sudah berada di pusat kekuasaan, dan sangat pantas dipromosikan untuk jabatan yang lebih tinggi. Tapi ia berani mengatakan "tidak" pada jabatan, dan melemparkan diri ke tempat yang sunyi dari hiruk-pikuk kekuasaan, sebagai guru Universitas Gadjah Mada. Ia menyingkiri kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan.

Umar Kayam
Umar Kayam makin tinggi tempatnya, karena justru banyak tokoh yang sudah punya tempat di dunia simbolis (akademisi, penyanyi, pemain film, pelawak, dalang, ulama) dalam Pemilu 1997 terjun ke dunia riil yang serba lebih "wah". Mungkin bukan karena kekayaan (mereka tak serendah itu), melainkan karena kekuasaan (massa yang kongkret), atau kehormatan (lingkungan kaum elite). Semuanya dengan ilusi akan mampu mengubah realitas menjadi idealitas.

Dengan pindahnya orang yang menekuni simbol ke dalam realitas tersebut, setidaknya ada dua hal yang hilang. Pertama, berkurangnya orang yang berani menolak realitas di sekitarnya, suatu hal yang sangat perlu bagi kemajuan peradaban. Kedua, banyak orang merasa dikecewakan oleh orang yang selama ini men- jadi idola. Kenyataan pertama berakibat hilangnya kemungkinan untuk perubahan, sedangkan kenyataan kedua menyebabkan hilang- nya kepercayaan pada examplary center. Keduanya sangat ber- bahaya untuk kelangsungan hidup suatu bangsa.

Semua pembaharu ialah mereka yang dapat membebaskan diri dari realitas. Pada 1908, Budi Utomo lahir karena para pendirinya dapat keluar dari realitas kolonialisme. Samanhudi mendirikan Sarekat Islam, keluar dari realitas mechanic solidarity pedesaan menuju ke realitas baru organic solidarity perkotaan. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, membebaskan diri dari realitas masyarakat agraris untuk mengantarkan umat Islam ke masyarakat industri awal. Marah Rusli, pengarang Sitti Nurbaya dari angkatan Balai Pustaka, keluar dari realitas kaba. R.B. Sulardi, penulis Serat Riyanto, menjadi pengarang Jawa modern karena bisa keluar dari realitas tradisi tembang. Amir Hamzah keluar dari realitas pantun dan gurindam. Chairil Anwar keluar dari realitas puisi terikat, menciptakan puisi bebas.

Pemilihan Umum 1997 istimewa karena banyaknya orang-orang sim- bolis "menyeberang" lantaran direkrut menjadi juru kampanye sebuah OPP (organisasi peserta pemilu). Alasan mereka pun "tepat": monoloyalitas, hak asasi, sekali-sekali menjadi "pemenang", tak enak terus-menerus menjadi "pecundang". Yang mengherankan orang awam ialah tak seorang pun mempunyai nyali untuk mengatakan "tidak". Bila itu ulama Islam, pasti para santri kecewa karena melihat panutannya "hanya sampai segitu", padahal ulama yang ideal itu "tak ke mana-mana, tapi di mana- mana". Bila itu akademikus, mereka akan menjadi bahan "banyolan" di kampus, betapapun indahnya teori sosial yang diajarkannya. Bila itu penyanyi, akan sangat mengecewakan fans- nya. Sebuah masyarakat yang kehilangan kepercayaan pada ex- amplary center adalah masyarakat yang sakit.

Orang-orang politik tak sadar bahwa simbol juga kekuatan sejarah. Nasionalisme tak akan meluas kalau hanya didukung partai politik. Tanpa media massa, lagu kebangsaan, sandiwara, agama, kepanduan, gerakan wanita, tulisan sejarah, dan sastra, nasionalisme hanya akan berwajah satu dimensi. Nasionalisme politik saja hanya sampai di kulit, tapi tak mendarah- mendaging. Apa bedanya kondisi kita dengan kondisi pra-1965, kalau kita sampai hati memerkosa sejarah, dan menjadikan politik sebagai panglima?

Pensiunan, menurut Umar Kayam, idealnya adalah masa pensiun kakeknya, seorang priayi "tempo doeloe" yang sungguh-sungguh pensiun. Bagi kakeknya, pensiun berarti jalan-jalan, membaca, tidur-tidur, makan-makan. Waktu itu pensiun berarti jadi tiyang mardika (orang merdeka) seratus persen. Kita percaya bahwa Umar Kayam akan jadi tiyang mardika ingkang marsudi kasusastran In- donesia (orang merdeka yang menekuni kesusastraaan Indonesia). Bagi pejuang tak ada kata "pensiun". Dan dia adalah pejuang simbol.

Saya teringat peristiwa pada tahun 1994, di masjid Emha Ainun Nadjib di Desa Kasihan, Bantul, Yogyakarta, ketika kami bersama mangayubagya keberangkatannya naik haji. Waktu itu, A. Mustofa Bisri dari Rembang mengatakan bahwa yang menarik dari pribadi Kayam ialah kejujurannya. Benar. Di sebuah pintu rumahnya ada tulisan, "Sapa durung sholat?" ("Siapa yang belum salat?"). Dia akan menunjuk tulisan itu sambil mengacungkan jari, "Kula!" ("Saya!"). Ia jujur bahkan dengan diri sendiri. Sekarang ia berusaha keras menjadi orang alim. Tak lupa puasa Senin-Kamis, itu baik bagi kesehatannya, spiritual dan materiil.

Menjadikan kecerdasan sebuah kekuatan sejarah bukan pekerjaan mudah. Tapi patut dicoba. Mula-mula kita harus menghimpun kecerdasan menjadi collective intelligence, kemudian baru aksi bersama. Tentu saja bukan ilmuwan yang egois, yang hanya memikirkan ilmunya sendiri. Itu bukan intelektual, melainkan sarjana. Juga bukan ilmuwan yang bersedia menjual ilmu kepada satu golongan. Itu bukan intelektual, melainkan klerek. Bukan pula ilmuwan "menara gading" yang tak peduli dengan sekitar.

Intelektual dalam gambaran saya adalah seorang pemberani seperti Umar Kayam, yang terlibat dengan urusan bangsanya tapi tak memihak salah satu golongan. Intelektual itu seperti ikan, hidup di dalam air laut, tapi tak asin. Ia tak sudi mereduksi kebenaran menjadi kekuasaan.

* Budayawan dan pakar sejarah UGM, Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar