Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini adalah social violence, bukan political violence. Melihat kerusuhan sebagai political violence adalah mengada-ada.
PENULIS : KUNTOWIJOYO.
ORANG berbeda pendapat mengenai sebab-musabab beberapa kerusuhan. Waktu tersiar Peristiwa Tasikmalaya, media massa membuat orang berpikir bahwa sebab peristiwa itu ialah penganiayaan oleh polisi terhadap kiai dan para santri. Jadi pembalasan. Kemudian Pangab menyatakan, di belakang peristiwa itu ada dalang, aktor intelektual yang mengipas. Presiden Soeharto melihatnya sebagai strategi "desa mengepung kota" ala maoisme dan memerintahkan pembentukan Pusat Komando Kewaspadaan Nasional. Abdurrahman Wahid melihatnya disebabkan makin terdesaknya pedagang santri oleh modal besar (Ummat, 20 Januari). Amien Rais melihat masalah ketidakadilan sebagai aib utama bangsa. Sila kesatu-keempat berhasil dengan baik, tapi sila kelima gagal (Kedaulatan Rakyat, 24 Januari). Semua itu mungkin asal orang sadar bahwa sebab-musabab tersebut plural (plurikausal), tak tunggal (monokausal).
Kebanyakan pejabat -harus bertindak serba cepat- berpikir secara monokausal. Seorang pengurus PMII Tasikmalaya dituduh sebagai aktor intelektual di belakang peristiwa. Hal ini dibantah keras oleh PB PMII. Sudomo, Ketua DPA, membuat sakit hati umat Islam dengan menyebutkan bahwa bekas "DI/TII" menjadi master mind, mendalangi peristiwa itu. Kebanyakan pejabat tak mencoba berpikir plurikausal dengan mencari dimensi-dimensinya. Barangkali berpikir plurikausal adalah kemewahan bagi pejabat. Tapi tak ada cara lain kecuali berpikir plurikausal kalau bangsa ini mau dewasa. Bertindaklah cepat, tapi berpikirlah panjang.
Berbicara mengenai sebab-musabab perlu dibedakan antara "sebab", "alasan", "kondisi", dan "motivasi" sebuah peristiwa. Keempatnya berdasarkan "kedekatan" dengan peristiwa. Sebab ialah kejadian yang secara langsung mengakibatkan terjadinya peristiwa, tanpa sebab sebuah peristiwa tak terjadi. Alasan ialah kejadian yang dekat dengan peristiwa, tapi tak secara langsung mengakibatkan sebuah peristiwa. Kondisi ialah keadaan umum yang melatarbelakangi peristiwa. Motivasi ialah dorongan yang mempengaruhi terjadinya peristiwa.
Ketika Pangab berbicara tentang aktor intelektual, ia berbicara tentang sebab yang meledakkan Peristiwa Tasikmalaya, pemicu. Memang tugas Pangab untuk melihat segalanya dari segi security, karena itu bisa dimengerti ucapan dan tindakannya. Selayaknyalah seorang Pangab memakai pendekatan keamanan, terlepas dari benar-salahnya penyidikan. Kalau aktor intelektual sudah ditemukan, selesailah tugas Pangab, meski Peristiwa Tasikmalaya belum selesai. Kesalahan berpikir baru terjadi kalau ia melihat Peristiwa Tasikmalaya disebabkan "semata-mata" oleh adanya aktor intelektual yang mengipas- ngipasi massa. Itu berarti, ia berpikir monokausal dan bukan plurikausal. Sebaliknya, pernyataan Sudomo yang menghubungkan Peristiwa Tasikmalaya dengan "DI/TII" tak layak, sebab dia adalah Ketua DPA, yang seharusnya berpikir komprehensif, dan bukan lagi pejabat Kopkamtib yang patut memakai pendekatan keamanan. Pernyataan Sudomo itu berbahaya karena memakai pendekatan pra-1990, ketika pemerintah dan umat Islam dalam banyak hal berseberangan. Itu sama halnya mengobati penyakit baru dengan resep lama, seolah-olah Indonesia berjalan mundur.
Mengenai alasan, kita cukup gembira dengan tindakan aparat yang menghukum para pelaku penganiayaan Tasikmalaya, yaitu para polisi. Dalam hal alasan, Peristiwa Tasikmalaya mirip Peristiwa Situbondo. Keduanya beralasan ketidakpuasan massa. Di Tasikmalaya, massa tak puas dan ingin melampiaskan kemarahan, begitu juga di Situbondo. Di Situbondo, massa tak puas dengan hukuman terlalu ringan untuk penghina "agama" kemudian mereka melampiaskan kemarahan. SARA disebut-sebut sebagai faktor. Mungkin juga faktor itu ada, tapi jelas bukan alasan -bukan pula sebab, kondisi, dan motivasi- kedua peristiwa itu.
Kondisi harus kita cari pada masyarakat. Pernyataan menunjuk pada tersingkirnya pedagang santri oleh pemodal besar, pembangunan tak merata, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan, munculnya pekerja penuh yang lepas dari pertanian, kota yang anonim, kegagalan sebagian pembangunan, dan sebagainya. Dalam kondisi demikian tentu satu-satunya jalan ialah memperbaiki apa yang kurang, dan bukan represi, pemberangusan. Mungkin represi akan berhasil untuk sementara, tapi jelas itu perbuatan yang self-defeating dalam jangka panjang. Masyarakat akan menilai negatif pemerintahnya sendiri, dan menjadi apatis.
Presiden Soeharto lebih melihat persoalan itu dari perspektif jangka panjang dan luas: motivasi berupa penerapan strategi komunisme "desa mengepung kota". Presiden lebih menekankan pada dorongan yang mempengaruhi terjadinya kerusuhan, yaitu upaya menguasai kota. Dengan kata lain, Presiden melihat adanya causa finalis (tujuan yang menyebabkan terjadinya peristiwa) dari kerusuhan itu. Dibentuknya posko yang melibatkan masyarakat - tak hanya pejabat seperti Kopkamtib- untuk mengantisipasi kerusuhan serupa secara dini di masa depan.
Ada perbedaan dalam melihat kerusuhan, sebagaimana kata ungkapan "berlainan tempat tegak, berlainan yang tampak". Di satu pihak, pemerintah melihatnya sebagai political violence dengan tujuan politik, dan di lain pihak masyarakat lebih melihatnya sebagai social violence tanpa tujuan politik.
Ted Robert Guur dalam Why Men Rebel menyebut relative deprivation sebagai penyebab utama kekerasan kolektif. Relative deprivation ialah jarak antara harapan dan kemampuan. Pembangunan nasional telah berhasil meningkatkan kemakmuran riil, tapi bersamaan dengan itu juga meningkatkan harapan- harapan. Kita menduga justru di tempat semacam Situbondo dan Tasikmalaya pembangunan nasional berhasil baik, kemakmuran, dan kesejahteraan bertambah. Jika hipotesis ini benar maka kerusuhan terjadi bukan karena kemiskinan dan kegagalan, melainkan sebaliknya, karena keberhasilan. Daerah pesantren mungkin sangat responsif terhadap pembangunan, karena itu harapannya melambung, dan karena itu pula kekecewaan mudah datang. Maka salah satu tugas posko ialah menurunkan harapan supaya perasaan relative deprivation itu tak muncul.
Sebagai tulisan bukan pejabat, artikel ini akan berpihak dengan mengatakan bahwa kerusuhan itu adalah social violence, bukan political violence. Melihatnya sebagai political violence adalah mengada-ada.
* Pengamat sosial-budaya
ORANG berbeda pendapat mengenai sebab-musabab beberapa kerusuhan. Waktu tersiar Peristiwa Tasikmalaya, media massa membuat orang berpikir bahwa sebab peristiwa itu ialah penganiayaan oleh polisi terhadap kiai dan para santri. Jadi pembalasan. Kemudian Pangab menyatakan, di belakang peristiwa itu ada dalang, aktor intelektual yang mengipas. Presiden Soeharto melihatnya sebagai strategi "desa mengepung kota" ala maoisme dan memerintahkan pembentukan Pusat Komando Kewaspadaan Nasional. Abdurrahman Wahid melihatnya disebabkan makin terdesaknya pedagang santri oleh modal besar (Ummat, 20 Januari). Amien Rais melihat masalah ketidakadilan sebagai aib utama bangsa. Sila kesatu-keempat berhasil dengan baik, tapi sila kelima gagal (Kedaulatan Rakyat, 24 Januari). Semua itu mungkin asal orang sadar bahwa sebab-musabab tersebut plural (plurikausal), tak tunggal (monokausal).
ingat gak |
Berbicara mengenai sebab-musabab perlu dibedakan antara "sebab", "alasan", "kondisi", dan "motivasi" sebuah peristiwa. Keempatnya berdasarkan "kedekatan" dengan peristiwa. Sebab ialah kejadian yang secara langsung mengakibatkan terjadinya peristiwa, tanpa sebab sebuah peristiwa tak terjadi. Alasan ialah kejadian yang dekat dengan peristiwa, tapi tak secara langsung mengakibatkan sebuah peristiwa. Kondisi ialah keadaan umum yang melatarbelakangi peristiwa. Motivasi ialah dorongan yang mempengaruhi terjadinya peristiwa.
Ketika Pangab berbicara tentang aktor intelektual, ia berbicara tentang sebab yang meledakkan Peristiwa Tasikmalaya, pemicu. Memang tugas Pangab untuk melihat segalanya dari segi security, karena itu bisa dimengerti ucapan dan tindakannya. Selayaknyalah seorang Pangab memakai pendekatan keamanan, terlepas dari benar-salahnya penyidikan. Kalau aktor intelektual sudah ditemukan, selesailah tugas Pangab, meski Peristiwa Tasikmalaya belum selesai. Kesalahan berpikir baru terjadi kalau ia melihat Peristiwa Tasikmalaya disebabkan "semata-mata" oleh adanya aktor intelektual yang mengipas- ngipasi massa. Itu berarti, ia berpikir monokausal dan bukan plurikausal. Sebaliknya, pernyataan Sudomo yang menghubungkan Peristiwa Tasikmalaya dengan "DI/TII" tak layak, sebab dia adalah Ketua DPA, yang seharusnya berpikir komprehensif, dan bukan lagi pejabat Kopkamtib yang patut memakai pendekatan keamanan. Pernyataan Sudomo itu berbahaya karena memakai pendekatan pra-1990, ketika pemerintah dan umat Islam dalam banyak hal berseberangan. Itu sama halnya mengobati penyakit baru dengan resep lama, seolah-olah Indonesia berjalan mundur.
Mengenai alasan, kita cukup gembira dengan tindakan aparat yang menghukum para pelaku penganiayaan Tasikmalaya, yaitu para polisi. Dalam hal alasan, Peristiwa Tasikmalaya mirip Peristiwa Situbondo. Keduanya beralasan ketidakpuasan massa. Di Tasikmalaya, massa tak puas dan ingin melampiaskan kemarahan, begitu juga di Situbondo. Di Situbondo, massa tak puas dengan hukuman terlalu ringan untuk penghina "agama" kemudian mereka melampiaskan kemarahan. SARA disebut-sebut sebagai faktor. Mungkin juga faktor itu ada, tapi jelas bukan alasan -bukan pula sebab, kondisi, dan motivasi- kedua peristiwa itu.
Kondisi harus kita cari pada masyarakat. Pernyataan menunjuk pada tersingkirnya pedagang santri oleh pemodal besar, pembangunan tak merata, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan, munculnya pekerja penuh yang lepas dari pertanian, kota yang anonim, kegagalan sebagian pembangunan, dan sebagainya. Dalam kondisi demikian tentu satu-satunya jalan ialah memperbaiki apa yang kurang, dan bukan represi, pemberangusan. Mungkin represi akan berhasil untuk sementara, tapi jelas itu perbuatan yang self-defeating dalam jangka panjang. Masyarakat akan menilai negatif pemerintahnya sendiri, dan menjadi apatis.
Presiden Soeharto lebih melihat persoalan itu dari perspektif jangka panjang dan luas: motivasi berupa penerapan strategi komunisme "desa mengepung kota". Presiden lebih menekankan pada dorongan yang mempengaruhi terjadinya kerusuhan, yaitu upaya menguasai kota. Dengan kata lain, Presiden melihat adanya causa finalis (tujuan yang menyebabkan terjadinya peristiwa) dari kerusuhan itu. Dibentuknya posko yang melibatkan masyarakat - tak hanya pejabat seperti Kopkamtib- untuk mengantisipasi kerusuhan serupa secara dini di masa depan.
Ada perbedaan dalam melihat kerusuhan, sebagaimana kata ungkapan "berlainan tempat tegak, berlainan yang tampak". Di satu pihak, pemerintah melihatnya sebagai political violence dengan tujuan politik, dan di lain pihak masyarakat lebih melihatnya sebagai social violence tanpa tujuan politik.
Ted Robert Guur dalam Why Men Rebel menyebut relative deprivation sebagai penyebab utama kekerasan kolektif. Relative deprivation ialah jarak antara harapan dan kemampuan. Pembangunan nasional telah berhasil meningkatkan kemakmuran riil, tapi bersamaan dengan itu juga meningkatkan harapan- harapan. Kita menduga justru di tempat semacam Situbondo dan Tasikmalaya pembangunan nasional berhasil baik, kemakmuran, dan kesejahteraan bertambah. Jika hipotesis ini benar maka kerusuhan terjadi bukan karena kemiskinan dan kegagalan, melainkan sebaliknya, karena keberhasilan. Daerah pesantren mungkin sangat responsif terhadap pembangunan, karena itu harapannya melambung, dan karena itu pula kekecewaan mudah datang. Maka salah satu tugas posko ialah menurunkan harapan supaya perasaan relative deprivation itu tak muncul.
Sebagai tulisan bukan pejabat, artikel ini akan berpihak dengan mengatakan bahwa kerusuhan itu adalah social violence, bukan political violence. Melihatnya sebagai political violence adalah mengada-ada.
* Pengamat sosial-budaya
0 komentar:
Posting Komentar