Massa pendukung kerusuhan 27 Juli 1996 mempunyai sensibilitas politik, tetapi tidak memiliki ideologi politik sebagaimana orang-orang PRD. Sensibilitas itu terbatas pada pengekspresian perasaan tanpa tahu tahapan selanjutnya.
PENULIS : KUNTOWIJOYO.
PARA politisi, partisipan mimbar bebas, para tokoh, dan pelaku peristiwa Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996, mesti mempunyai sensibilitas (cara merasa, kejiwaan, mentalitas) tersendiri. Mereka terlalu peka dengan politik. Apa-apa dicari hubungannya dengan politik. Baik penyerbu maupun yang mempertahankan kantor PDI sebenarnya mempunyai sensibilitas yang sama: menganggap bahwa politik itu menentukan. Mereka berpendapat, perubahan politik adalah obat yang cespleng bagi semua penyakit bangsa.
Konsep sensibilitas berasal dari sejarawan Prancis, Lucien Febvre, untuk menunjukkan "situasi emosional" suatu zaman. Kita ubah pengertiannya menjadi situasi emosional suatu golongan. Sebuah sensibilitas bukanlah watak, tapi hanya cara merasa. Bisa saja orang yang sehar-hari profesinya nonpolitik mempunyai sensibilitas politik; sebaliknya, orang yang sehari-harnya terlibat dalam politik mempunyai sensibilitas nonpolitik. Selanjutnya, pasti ada orang yang mempunyai sensibilitas ganda, atau tidak sama sekali.
Untuk menjelaskan kata "politik" dan "struktur", mari kita ambil sejarawan Prancis yang lain, Fernand Braudel, yang membagi sejarah ke dalam tiga kategori, yaitu sejarah jangka pendek yang menekankan peristiwa (I'histoire evenementielle), seperti "politik"; sejarah jangka menengah yang menekankan struktur (I'histoire structurelle), seperti perubahan budaya, sosial, dan ekonomi; dan sejarah jangka panjang (I'histoire longue duree) yang menekankan pola, seperti pola geografis dan teknologis.
Kita akan segera melihat bahwa mereka yang berpikir dan merasa serba politik dalam jangka pendek mewakili kategori pertama. Dan orang yang skeptis dengan kekuatan politik dan berpikir serta merasa dalam jangka menengah termasuk kategori kedua. Perbedaan pendapat antara mereka yang terlibat dalam peristiwa "Sabtu Kelabu" di satu pihak dan mereka yang tak terlibat di lain pihak, ialah perbedaan sensibilitas. Apakah begitu berbeda sensibilitas politik dan sensibilitas struktur dalam perilaku?
Ternyata ada perbedaan penting antara sensibilitas politik dan sensibilitas struktur. Sensibilitas ditentukan jenis informasi yang diterima dan sosialisasi seseorang, dua kriteria yang dapat diketahui dari riwayat hidup seseorang. Jenis informasi dapat diketahui lewat bahan bacaan, dan sosialisasi dapat diketahui melalui pergaulan. Tentu saja ada keragaman antarpribadi; riwayat hidup seseorang dan intensitas penghayatan terhadap dua unsur itu tak dapat dihitung secara matematis.
Sensibilitas politik mengandaikan keduanya bersifat politis, sehingga bagi seseorang tak ada keraguan sedikit pun pada kausalitas politik. Sementara itu sensibilitas struktur menerima informasi dan pergaulan yang beragam, sehingga analisis sosialnya tak tunggal, tidak deterministis. Informasi rupanya sangat berpengaruh pada analisis. Anggota-anggota PRD yang mesti tak terlalu besar untuk diseminasi sebuah informasi, kesamaan pemahaman dapat diharapkan. Umur, pendidikan, dan pengalaman mereka relatif sama. Oleh karena itu wajar kalau PRD dan organisasi di bawahnya mengambil politik sebagai determinan, yaitu percaturan kekuasaan sehari-hari,
Sering orang-orang politik, terutama pemuda dan mahasiswa, melihat seolah-olah orang-orang nonpolitik tak punya komitmen. Memang kadang-kadang ternyata insting orang dengan sensibilitas politik betul. Pada tahun-tahun 1945 dan 1965, pemuda berpolitik cepat bergerak. Tanpa sensibilitas politik yang tinggi, Proklamasi dan penumpasan G-30-S tak akan terjadi. Barangkali, kerusuhan 27 Juli 1996 terjadi karena insting politik saja yang bekerja, tapi tak dikontrol rasio, sehingga terjadi perusakan, dan tak jelas arahnya.
Untuk menjelaskan perbedaan sensibilitas politik dan sensibilitas struktur, kita ambil contoh beberapa kasus dalam sejarah kontemporer. Orang-orang berpolitik meramaikan masalah ikatan cendekiawan. K.H. Abdurrahman Wahid di dalam dan di luar negeri menuduh ICMI yang berdiri pada 1990 bersifat sektarian dan primordial. Siswono Judohusodo mengatakan ICMI tak mempunyai wawasan kebangsaan. Orang-orang berorientasi struktur melihat ICMI lebih sebagai bukan urusan politik, tapi urusan struktur.
Jenis sensibilitas tak menentukan intensitas perbuatan. Adakalanya orang-orang dengan sensibilitas struktur cenderung pada kekerasan, sedangkan orang-orang dengan sensibilitas politik berbuat sebaliknya. Pada tahun 1965, orang Jakarta dengan sensibilitas politik yang tinggi meramaikannya sebagai konflik politik ABRI, Islam, dan PKI, tapi tak ada perang rakyat. Sementara itu, bagi orang di Jawa Timur yang mempunyai sensibilitas struktur, peristiwa 1965 dirasakan sebagai konflik kultural (santri vs abangan). Pada tahun 1945, Proklamasi Kemerdekaan mempunyai makna yang berbeda antara tempat dengan sensibilitas politik dan tempat yang mempunyai sensibilitas struktur. Di Jakarta, tak ada pembunuhan, meskipun tak diragukan orang-orang Jakarta mempunyai sensibilitas politik. Meskipun agak terlambat terjadi Peristiwa Cumbok di Aceh (uleebalang vs ulama) dan Peristiwa Tiga Daerah di Jawa Tengah bagian utara (priayi vs wong cilik). Sensibilitas struktur tak selalu berarti kejadian-kejadiannya lebih lunak, terbukti daerah dengan sensibilitas struktur lebih berdarah daripada pusat dengan sensibilitas politik pada 1965 dan 1945. Orang- orang dengan sensibilitas struktur bukannya tak punya komitmen, tapi komitmennya pada struktur, tidak pada politik.
Sensibilitas politik menekankan politik kekuasaan, sedangkan sensibilitas struktur mencari garis bawah dari peristiwa politik. Ada atau tak ada ICMI, kelas menengah muslim adalah kenyataan sejarah. Janganlah kita berpikir terlalu politis dalam semua hal. Dalam kaitan dengan ICMI berpikirlah struktural. Setidaknya mengenai ICMI, ada dua hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, ada perubahan struktural di bawah, berupa naiknya orang-orang sarungan dalam tangga sosial kita. Kedua, pada zaman industrial sekarang ini, yang menentukan kekuasaan bukan lagi hanya politik, tapi masih banyak yang lain, seperti bisnis, pendidikan, akademi, dan profesi.
Sekarang, soal hubungan sensibilitas politik dengan ideologi politik dalam kerusuhan 27 Juli 1996. Semua anggota PDI dari kedua kubu, pemimbar bebas, PRD, dan orang-orang yang terlibat bisa dipastikan mempunyai sensibilitas politik, sedangkan yang punya ideologi politik hanya PRD dan organisasi bawahannya. Jelas bahwa massa yang ambil bagian dalam kerusuhan paling banter hanya punya sensibilitas politik, tapi mereka tak punya ideologi politik. Mungkin para anggota PRD yang berideologi itu hanya ongkang-ongkang waktu terjadi kerusuhan yang dikerjakan massa. Persis pemberontakan 1926-1927 disebut sebagai pemberontakan komunis, padahal yang mengerjakan adalah para santri dan kiai di Banten dan Silungkang.
Ada beda sensibilitas politik dengan ideologi politik? Sensibilitas politik hanya suasana kejiwaan, tak rasional, tak sistematis, dan tak terarah. Sebaliknya, ideologi politik ialah cara berpikir, rasional, sistematis, dan terarah. Sensibilitas politik terbatas pada mengekspresikan perasaan tapi tak tahu apa yang harus dikerjakan selanjutnya. Ideologi politik tahu persis apa yang harus dikerjakan, urut-urutan, dan tahapan- tahapannya. Untuk mempunyai ideologi politik tertentu orang harus punya sensibilitas politik. Dengan kata lain, orang-orang PRD harus mempunyai sensibilitas politik, tapi massa yang mendukung kerusuhan 27 Juli 1996 tak perlu punya ideologi politik. Karena itu perlu dibedakan mereka yang punya sensibilitas politik dari mereka yang punya ideologi politik.
Tulisan ini ingin mengingatkan, jangan kita asyik memburu PRD dengan ideologi politik mirip komunis tapi lupa "memburu" penyebab timbulnya sensibilitas politik. Ibarat melihat papan tulis, kita asyik melihat titik-titik di papan, tapi lupa papan tulisnya. Kita mendukung tindakan tegas aparat, yang masih kita tunggu ialah tindakan yang sama tegasnya dalam menangani monopoli, oligopoli, korupsi, kolusi, kemiskinan, dan kesenjangan. Itu baru adil.!
* Sejarawan, pengamat politik
PENULIS : KUNTOWIJOYO.
PARA politisi, partisipan mimbar bebas, para tokoh, dan pelaku peristiwa Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996, mesti mempunyai sensibilitas (cara merasa, kejiwaan, mentalitas) tersendiri. Mereka terlalu peka dengan politik. Apa-apa dicari hubungannya dengan politik. Baik penyerbu maupun yang mempertahankan kantor PDI sebenarnya mempunyai sensibilitas yang sama: menganggap bahwa politik itu menentukan. Mereka berpendapat, perubahan politik adalah obat yang cespleng bagi semua penyakit bangsa.
zaman dulu |
Untuk menjelaskan kata "politik" dan "struktur", mari kita ambil sejarawan Prancis yang lain, Fernand Braudel, yang membagi sejarah ke dalam tiga kategori, yaitu sejarah jangka pendek yang menekankan peristiwa (I'histoire evenementielle), seperti "politik"; sejarah jangka menengah yang menekankan struktur (I'histoire structurelle), seperti perubahan budaya, sosial, dan ekonomi; dan sejarah jangka panjang (I'histoire longue duree) yang menekankan pola, seperti pola geografis dan teknologis.
Kita akan segera melihat bahwa mereka yang berpikir dan merasa serba politik dalam jangka pendek mewakili kategori pertama. Dan orang yang skeptis dengan kekuatan politik dan berpikir serta merasa dalam jangka menengah termasuk kategori kedua. Perbedaan pendapat antara mereka yang terlibat dalam peristiwa "Sabtu Kelabu" di satu pihak dan mereka yang tak terlibat di lain pihak, ialah perbedaan sensibilitas. Apakah begitu berbeda sensibilitas politik dan sensibilitas struktur dalam perilaku?
Ternyata ada perbedaan penting antara sensibilitas politik dan sensibilitas struktur. Sensibilitas ditentukan jenis informasi yang diterima dan sosialisasi seseorang, dua kriteria yang dapat diketahui dari riwayat hidup seseorang. Jenis informasi dapat diketahui lewat bahan bacaan, dan sosialisasi dapat diketahui melalui pergaulan. Tentu saja ada keragaman antarpribadi; riwayat hidup seseorang dan intensitas penghayatan terhadap dua unsur itu tak dapat dihitung secara matematis.
Sensibilitas politik mengandaikan keduanya bersifat politis, sehingga bagi seseorang tak ada keraguan sedikit pun pada kausalitas politik. Sementara itu sensibilitas struktur menerima informasi dan pergaulan yang beragam, sehingga analisis sosialnya tak tunggal, tidak deterministis. Informasi rupanya sangat berpengaruh pada analisis. Anggota-anggota PRD yang mesti tak terlalu besar untuk diseminasi sebuah informasi, kesamaan pemahaman dapat diharapkan. Umur, pendidikan, dan pengalaman mereka relatif sama. Oleh karena itu wajar kalau PRD dan organisasi di bawahnya mengambil politik sebagai determinan, yaitu percaturan kekuasaan sehari-hari,
Sering orang-orang politik, terutama pemuda dan mahasiswa, melihat seolah-olah orang-orang nonpolitik tak punya komitmen. Memang kadang-kadang ternyata insting orang dengan sensibilitas politik betul. Pada tahun-tahun 1945 dan 1965, pemuda berpolitik cepat bergerak. Tanpa sensibilitas politik yang tinggi, Proklamasi dan penumpasan G-30-S tak akan terjadi. Barangkali, kerusuhan 27 Juli 1996 terjadi karena insting politik saja yang bekerja, tapi tak dikontrol rasio, sehingga terjadi perusakan, dan tak jelas arahnya.
Untuk menjelaskan perbedaan sensibilitas politik dan sensibilitas struktur, kita ambil contoh beberapa kasus dalam sejarah kontemporer. Orang-orang berpolitik meramaikan masalah ikatan cendekiawan. K.H. Abdurrahman Wahid di dalam dan di luar negeri menuduh ICMI yang berdiri pada 1990 bersifat sektarian dan primordial. Siswono Judohusodo mengatakan ICMI tak mempunyai wawasan kebangsaan. Orang-orang berorientasi struktur melihat ICMI lebih sebagai bukan urusan politik, tapi urusan struktur.
Jenis sensibilitas tak menentukan intensitas perbuatan. Adakalanya orang-orang dengan sensibilitas struktur cenderung pada kekerasan, sedangkan orang-orang dengan sensibilitas politik berbuat sebaliknya. Pada tahun 1965, orang Jakarta dengan sensibilitas politik yang tinggi meramaikannya sebagai konflik politik ABRI, Islam, dan PKI, tapi tak ada perang rakyat. Sementara itu, bagi orang di Jawa Timur yang mempunyai sensibilitas struktur, peristiwa 1965 dirasakan sebagai konflik kultural (santri vs abangan). Pada tahun 1945, Proklamasi Kemerdekaan mempunyai makna yang berbeda antara tempat dengan sensibilitas politik dan tempat yang mempunyai sensibilitas struktur. Di Jakarta, tak ada pembunuhan, meskipun tak diragukan orang-orang Jakarta mempunyai sensibilitas politik. Meskipun agak terlambat terjadi Peristiwa Cumbok di Aceh (uleebalang vs ulama) dan Peristiwa Tiga Daerah di Jawa Tengah bagian utara (priayi vs wong cilik). Sensibilitas struktur tak selalu berarti kejadian-kejadiannya lebih lunak, terbukti daerah dengan sensibilitas struktur lebih berdarah daripada pusat dengan sensibilitas politik pada 1965 dan 1945. Orang- orang dengan sensibilitas struktur bukannya tak punya komitmen, tapi komitmennya pada struktur, tidak pada politik.
Sensibilitas politik menekankan politik kekuasaan, sedangkan sensibilitas struktur mencari garis bawah dari peristiwa politik. Ada atau tak ada ICMI, kelas menengah muslim adalah kenyataan sejarah. Janganlah kita berpikir terlalu politis dalam semua hal. Dalam kaitan dengan ICMI berpikirlah struktural. Setidaknya mengenai ICMI, ada dua hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, ada perubahan struktural di bawah, berupa naiknya orang-orang sarungan dalam tangga sosial kita. Kedua, pada zaman industrial sekarang ini, yang menentukan kekuasaan bukan lagi hanya politik, tapi masih banyak yang lain, seperti bisnis, pendidikan, akademi, dan profesi.
Sekarang, soal hubungan sensibilitas politik dengan ideologi politik dalam kerusuhan 27 Juli 1996. Semua anggota PDI dari kedua kubu, pemimbar bebas, PRD, dan orang-orang yang terlibat bisa dipastikan mempunyai sensibilitas politik, sedangkan yang punya ideologi politik hanya PRD dan organisasi bawahannya. Jelas bahwa massa yang ambil bagian dalam kerusuhan paling banter hanya punya sensibilitas politik, tapi mereka tak punya ideologi politik. Mungkin para anggota PRD yang berideologi itu hanya ongkang-ongkang waktu terjadi kerusuhan yang dikerjakan massa. Persis pemberontakan 1926-1927 disebut sebagai pemberontakan komunis, padahal yang mengerjakan adalah para santri dan kiai di Banten dan Silungkang.
Ada beda sensibilitas politik dengan ideologi politik? Sensibilitas politik hanya suasana kejiwaan, tak rasional, tak sistematis, dan tak terarah. Sebaliknya, ideologi politik ialah cara berpikir, rasional, sistematis, dan terarah. Sensibilitas politik terbatas pada mengekspresikan perasaan tapi tak tahu apa yang harus dikerjakan selanjutnya. Ideologi politik tahu persis apa yang harus dikerjakan, urut-urutan, dan tahapan- tahapannya. Untuk mempunyai ideologi politik tertentu orang harus punya sensibilitas politik. Dengan kata lain, orang-orang PRD harus mempunyai sensibilitas politik, tapi massa yang mendukung kerusuhan 27 Juli 1996 tak perlu punya ideologi politik. Karena itu perlu dibedakan mereka yang punya sensibilitas politik dari mereka yang punya ideologi politik.
Tulisan ini ingin mengingatkan, jangan kita asyik memburu PRD dengan ideologi politik mirip komunis tapi lupa "memburu" penyebab timbulnya sensibilitas politik. Ibarat melihat papan tulis, kita asyik melihat titik-titik di papan, tapi lupa papan tulisnya. Kita mendukung tindakan tegas aparat, yang masih kita tunggu ialah tindakan yang sama tegasnya dalam menangani monopoli, oligopoli, korupsi, kolusi, kemiskinan, dan kesenjangan. Itu baru adil.!
* Sejarawan, pengamat politik
0 komentar:
Posting Komentar