Kamis, 19 Desember 2013

Umar Kayam

Intelektual adalah seorang pemberani, yang terlibat dengan urusan bangsanya tapi tak memihak salah satu golongan. Ia tak sudi mereduksi kebenaran menjadi kekuasaan. Umar Kayam adalah seorang intelektual. 

PENULIS : KUNTOWIJOYO.

ANDAIKAN saya harus menuliskan biografi Pak Umar Kayam, maka tema pokok riwayat hidupnya ialah keberanian. Betapa tidak. Awal Orde Baru, tahun 1967, namanya berkibar sebagai elite birokrasi. Sebagai elite (Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film) ia sudah berada di pusat kekuasaan, dan sangat pantas dipromosikan untuk jabatan yang lebih tinggi. Tapi ia berani mengatakan "tidak" pada jabatan, dan melemparkan diri ke tempat yang sunyi dari hiruk-pikuk kekuasaan, sebagai guru Universitas Gadjah Mada. Ia menyingkiri kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan.

Umar Kayam
Umar Kayam makin tinggi tempatnya, karena justru banyak tokoh yang sudah punya tempat di dunia simbolis (akademisi, penyanyi, pemain film, pelawak, dalang, ulama) dalam Pemilu 1997 terjun ke dunia riil yang serba lebih "wah". Mungkin bukan karena kekayaan (mereka tak serendah itu), melainkan karena kekuasaan (massa yang kongkret), atau kehormatan (lingkungan kaum elite). Semuanya dengan ilusi akan mampu mengubah realitas menjadi idealitas.

Dengan pindahnya orang yang menekuni simbol ke dalam realitas tersebut, setidaknya ada dua hal yang hilang. Pertama, berkurangnya orang yang berani menolak realitas di sekitarnya, suatu hal yang sangat perlu bagi kemajuan peradaban. Kedua, banyak orang merasa dikecewakan oleh orang yang selama ini men- jadi idola. Kenyataan pertama berakibat hilangnya kemungkinan untuk perubahan, sedangkan kenyataan kedua menyebabkan hilang- nya kepercayaan pada examplary center. Keduanya sangat ber- bahaya untuk kelangsungan hidup suatu bangsa.

Semua pembaharu ialah mereka yang dapat membebaskan diri dari realitas. Pada 1908, Budi Utomo lahir karena para pendirinya dapat keluar dari realitas kolonialisme. Samanhudi mendirikan Sarekat Islam, keluar dari realitas mechanic solidarity pedesaan menuju ke realitas baru organic solidarity perkotaan. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, membebaskan diri dari realitas masyarakat agraris untuk mengantarkan umat Islam ke masyarakat industri awal. Marah Rusli, pengarang Sitti Nurbaya dari angkatan Balai Pustaka, keluar dari realitas kaba. R.B. Sulardi, penulis Serat Riyanto, menjadi pengarang Jawa modern karena bisa keluar dari realitas tradisi tembang. Amir Hamzah keluar dari realitas pantun dan gurindam. Chairil Anwar keluar dari realitas puisi terikat, menciptakan puisi bebas.

Pemilihan Umum 1997 istimewa karena banyaknya orang-orang sim- bolis "menyeberang" lantaran direkrut menjadi juru kampanye sebuah OPP (organisasi peserta pemilu). Alasan mereka pun "tepat": monoloyalitas, hak asasi, sekali-sekali menjadi "pemenang", tak enak terus-menerus menjadi "pecundang". Yang mengherankan orang awam ialah tak seorang pun mempunyai nyali untuk mengatakan "tidak". Bila itu ulama Islam, pasti para santri kecewa karena melihat panutannya "hanya sampai segitu", padahal ulama yang ideal itu "tak ke mana-mana, tapi di mana- mana". Bila itu akademikus, mereka akan menjadi bahan "banyolan" di kampus, betapapun indahnya teori sosial yang diajarkannya. Bila itu penyanyi, akan sangat mengecewakan fans- nya. Sebuah masyarakat yang kehilangan kepercayaan pada ex- amplary center adalah masyarakat yang sakit.

Orang-orang politik tak sadar bahwa simbol juga kekuatan sejarah. Nasionalisme tak akan meluas kalau hanya didukung partai politik. Tanpa media massa, lagu kebangsaan, sandiwara, agama, kepanduan, gerakan wanita, tulisan sejarah, dan sastra, nasionalisme hanya akan berwajah satu dimensi. Nasionalisme politik saja hanya sampai di kulit, tapi tak mendarah- mendaging. Apa bedanya kondisi kita dengan kondisi pra-1965, kalau kita sampai hati memerkosa sejarah, dan menjadikan politik sebagai panglima?

Pensiunan, menurut Umar Kayam, idealnya adalah masa pensiun kakeknya, seorang priayi "tempo doeloe" yang sungguh-sungguh pensiun. Bagi kakeknya, pensiun berarti jalan-jalan, membaca, tidur-tidur, makan-makan. Waktu itu pensiun berarti jadi tiyang mardika (orang merdeka) seratus persen. Kita percaya bahwa Umar Kayam akan jadi tiyang mardika ingkang marsudi kasusastran In- donesia (orang merdeka yang menekuni kesusastraaan Indonesia). Bagi pejuang tak ada kata "pensiun". Dan dia adalah pejuang simbol.

Saya teringat peristiwa pada tahun 1994, di masjid Emha Ainun Nadjib di Desa Kasihan, Bantul, Yogyakarta, ketika kami bersama mangayubagya keberangkatannya naik haji. Waktu itu, A. Mustofa Bisri dari Rembang mengatakan bahwa yang menarik dari pribadi Kayam ialah kejujurannya. Benar. Di sebuah pintu rumahnya ada tulisan, "Sapa durung sholat?" ("Siapa yang belum salat?"). Dia akan menunjuk tulisan itu sambil mengacungkan jari, "Kula!" ("Saya!"). Ia jujur bahkan dengan diri sendiri. Sekarang ia berusaha keras menjadi orang alim. Tak lupa puasa Senin-Kamis, itu baik bagi kesehatannya, spiritual dan materiil.

Menjadikan kecerdasan sebuah kekuatan sejarah bukan pekerjaan mudah. Tapi patut dicoba. Mula-mula kita harus menghimpun kecerdasan menjadi collective intelligence, kemudian baru aksi bersama. Tentu saja bukan ilmuwan yang egois, yang hanya memikirkan ilmunya sendiri. Itu bukan intelektual, melainkan sarjana. Juga bukan ilmuwan yang bersedia menjual ilmu kepada satu golongan. Itu bukan intelektual, melainkan klerek. Bukan pula ilmuwan "menara gading" yang tak peduli dengan sekitar.

Intelektual dalam gambaran saya adalah seorang pemberani seperti Umar Kayam, yang terlibat dengan urusan bangsanya tapi tak memihak salah satu golongan. Intelektual itu seperti ikan, hidup di dalam air laut, tapi tak asin. Ia tak sudi mereduksi kebenaran menjadi kekuasaan.

* Budayawan dan pakar sejarah UGM, Yogyakarta

Sebab-Musabab

Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini adalah social violence, bukan political violence. Melihat kerusuhan sebagai political violence adalah mengada-ada. 

PENULIS : KUNTOWIJOYO.

ORANG berbeda pendapat mengenai sebab-musabab beberapa kerusuhan. Waktu tersiar Peristiwa Tasikmalaya, media massa membuat orang berpikir bahwa sebab peristiwa itu ialah penganiayaan oleh polisi terhadap kiai dan para santri. Jadi pembalasan. Kemudian Pangab menyatakan, di belakang peristiwa itu ada dalang, aktor intelektual yang mengipas. Presiden Soeharto melihatnya sebagai strategi "desa mengepung kota" ala maoisme dan memerintahkan pembentukan Pusat Komando Kewaspadaan Nasional. Abdurrahman Wahid melihatnya disebabkan makin terdesaknya pedagang santri oleh modal besar (Ummat, 20 Januari). Amien Rais melihat masalah ketidakadilan sebagai aib utama bangsa. Sila kesatu-keempat berhasil dengan baik, tapi sila kelima gagal (Kedaulatan Rakyat, 24 Januari). Semua itu mungkin asal orang sadar bahwa sebab-musabab tersebut plural (plurikausal), tak tunggal (monokausal).

ingat gak
Kebanyakan pejabat -harus bertindak serba cepat- berpikir secara monokausal. Seorang pengurus PMII Tasikmalaya dituduh sebagai aktor intelektual di belakang peristiwa. Hal ini dibantah keras oleh PB PMII. Sudomo, Ketua DPA, membuat sakit hati umat Islam dengan menyebutkan bahwa bekas "DI/TII" menjadi master mind, mendalangi peristiwa itu. Kebanyakan pejabat tak mencoba berpikir plurikausal dengan mencari dimensi-dimensinya. Barangkali berpikir plurikausal adalah kemewahan bagi pejabat. Tapi tak ada cara lain kecuali berpikir plurikausal kalau bangsa ini mau dewasa. Bertindaklah cepat, tapi berpikirlah panjang.

Berbicara mengenai sebab-musabab perlu dibedakan antara "sebab", "alasan", "kondisi", dan "motivasi" sebuah peristiwa. Keempatnya berdasarkan "kedekatan" dengan peristiwa. Sebab ialah kejadian yang secara langsung mengakibatkan terjadinya peristiwa, tanpa sebab sebuah peristiwa tak terjadi. Alasan ialah kejadian yang dekat dengan peristiwa, tapi tak secara langsung mengakibatkan sebuah peristiwa. Kondisi ialah keadaan umum yang melatarbelakangi peristiwa. Motivasi ialah dorongan yang mempengaruhi terjadinya peristiwa.

Ketika Pangab berbicara tentang aktor intelektual, ia berbicara tentang sebab yang meledakkan Peristiwa Tasikmalaya, pemicu. Memang tugas Pangab untuk melihat segalanya dari segi security, karena itu bisa dimengerti ucapan dan tindakannya. Selayaknyalah seorang Pangab memakai pendekatan keamanan, terlepas dari benar-salahnya penyidikan. Kalau aktor intelektual sudah ditemukan, selesailah tugas Pangab, meski Peristiwa Tasikmalaya belum selesai. Kesalahan berpikir baru terjadi kalau ia melihat Peristiwa Tasikmalaya disebabkan "semata-mata" oleh adanya aktor intelektual yang mengipas- ngipasi massa. Itu berarti, ia berpikir monokausal dan bukan plurikausal. Sebaliknya, pernyataan Sudomo yang menghubungkan Peristiwa Tasikmalaya dengan "DI/TII" tak layak, sebab dia adalah Ketua DPA, yang seharusnya berpikir komprehensif, dan bukan lagi pejabat Kopkamtib yang patut memakai pendekatan keamanan. Pernyataan Sudomo itu berbahaya karena memakai pendekatan pra-1990, ketika pemerintah dan umat Islam dalam banyak hal berseberangan. Itu sama halnya mengobati penyakit baru dengan resep lama, seolah-olah Indonesia berjalan mundur.

Mengenai alasan, kita cukup gembira dengan tindakan aparat yang menghukum para pelaku penganiayaan Tasikmalaya, yaitu para polisi. Dalam hal alasan, Peristiwa Tasikmalaya mirip Peristiwa Situbondo. Keduanya beralasan ketidakpuasan massa. Di Tasikmalaya, massa tak puas dan ingin melampiaskan kemarahan, begitu juga di Situbondo. Di Situbondo, massa tak puas dengan hukuman terlalu ringan untuk penghina "agama" kemudian mereka melampiaskan kemarahan. SARA disebut-sebut sebagai faktor. Mungkin juga faktor itu ada, tapi jelas bukan alasan -bukan pula sebab, kondisi, dan motivasi- kedua peristiwa itu.

Kondisi harus kita cari pada masyarakat. Pernyataan menunjuk pada tersingkirnya pedagang santri oleh pemodal besar, pembangunan tak merata, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan, munculnya pekerja penuh yang lepas dari pertanian, kota yang anonim, kegagalan sebagian pembangunan, dan sebagainya. Dalam kondisi demikian tentu satu-satunya jalan ialah memperbaiki apa yang kurang, dan bukan represi, pemberangusan. Mungkin represi akan berhasil untuk sementara, tapi jelas itu perbuatan yang self-defeating dalam jangka panjang. Masyarakat akan menilai negatif pemerintahnya sendiri, dan menjadi apatis.

Presiden Soeharto lebih melihat persoalan itu dari perspektif jangka panjang dan luas: motivasi berupa penerapan strategi komunisme "desa mengepung kota". Presiden lebih menekankan pada dorongan yang mempengaruhi terjadinya kerusuhan, yaitu upaya menguasai kota. Dengan kata lain, Presiden melihat adanya causa finalis (tujuan yang menyebabkan terjadinya peristiwa) dari kerusuhan itu. Dibentuknya posko yang melibatkan masyarakat - tak hanya pejabat seperti Kopkamtib- untuk mengantisipasi kerusuhan serupa secara dini di masa depan.

Ada perbedaan dalam melihat kerusuhan, sebagaimana kata ungkapan "berlainan tempat tegak, berlainan yang tampak". Di satu pihak, pemerintah melihatnya sebagai political violence dengan tujuan politik, dan di lain pihak masyarakat lebih melihatnya sebagai social violence tanpa tujuan politik.

Ted Robert Guur dalam Why Men Rebel menyebut relative deprivation sebagai penyebab utama kekerasan kolektif. Relative deprivation ialah jarak antara harapan dan kemampuan. Pembangunan nasional telah berhasil meningkatkan kemakmuran riil, tapi bersamaan dengan itu juga meningkatkan harapan- harapan. Kita menduga justru di tempat semacam Situbondo dan Tasikmalaya pembangunan nasional berhasil baik, kemakmuran, dan kesejahteraan bertambah. Jika hipotesis ini benar maka kerusuhan terjadi bukan karena kemiskinan dan kegagalan, melainkan sebaliknya, karena keberhasilan. Daerah pesantren mungkin sangat responsif terhadap pembangunan, karena itu harapannya melambung, dan karena itu pula kekecewaan mudah datang. Maka salah satu tugas posko ialah menurunkan harapan supaya perasaan relative deprivation itu tak muncul.

Sebagai tulisan bukan pejabat, artikel ini akan berpihak dengan mengatakan bahwa kerusuhan itu adalah social violence, bukan political violence. Melihatnya sebagai political violence adalah mengada-ada.

* Pengamat sosial-budaya

Sensibilitas

Massa pendukung kerusuhan 27 Juli 1996 mempunyai sensibilitas politik, tetapi tidak memiliki ideologi politik sebagaimana orang-orang PRD. Sensibilitas itu terbatas pada pengekspresian perasaan tanpa tahu tahapan selanjutnya.

PENULIS : KUNTOWIJOYO.

PARA politisi, partisipan mimbar bebas, para tokoh, dan pelaku peristiwa Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996, mesti mempunyai sensibilitas (cara merasa, kejiwaan, mentalitas) tersendiri. Mereka terlalu peka dengan politik. Apa-apa dicari hubungannya dengan politik. Baik penyerbu maupun yang mempertahankan kantor PDI sebenarnya mempunyai sensibilitas yang sama: menganggap bahwa politik itu menentukan. Mereka berpendapat, perubahan politik adalah obat yang cespleng bagi semua penyakit bangsa.

zaman dulu
Konsep sensibilitas berasal dari sejarawan Prancis, Lucien Febvre, untuk menunjukkan "situasi emosional" suatu zaman. Kita ubah pengertiannya menjadi situasi emosional suatu golongan. Sebuah sensibilitas bukanlah watak, tapi hanya cara merasa. Bisa saja orang yang sehar-hari profesinya nonpolitik mempunyai sensibilitas politik; sebaliknya, orang yang sehari-harnya terlibat dalam politik mempunyai sensibilitas nonpolitik. Selanjutnya, pasti ada orang yang mempunyai sensibilitas ganda, atau tidak sama sekali.

Untuk menjelaskan kata "politik" dan "struktur", mari kita ambil sejarawan Prancis yang lain, Fernand Braudel, yang membagi sejarah ke dalam tiga kategori, yaitu sejarah jangka pendek yang menekankan peristiwa (I'histoire evenementielle), seperti "politik"; sejarah jangka menengah yang menekankan struktur (I'histoire structurelle), seperti perubahan budaya, sosial, dan ekonomi; dan sejarah jangka panjang (I'histoire longue duree) yang menekankan pola, seperti pola geografis dan teknologis.

Kita akan segera melihat bahwa mereka yang berpikir dan merasa serba politik dalam jangka pendek mewakili kategori pertama. Dan orang yang skeptis dengan kekuatan politik dan berpikir serta merasa dalam jangka menengah termasuk kategori kedua. Perbedaan pendapat antara mereka yang terlibat dalam peristiwa "Sabtu Kelabu" di satu pihak dan mereka yang tak terlibat di lain pihak, ialah perbedaan sensibilitas. Apakah begitu berbeda sensibilitas politik dan sensibilitas struktur dalam perilaku?

Ternyata ada perbedaan penting antara sensibilitas politik dan sensibilitas struktur. Sensibilitas ditentukan jenis informasi yang diterima dan sosialisasi seseorang, dua kriteria yang dapat diketahui dari riwayat hidup seseorang. Jenis informasi dapat diketahui lewat bahan bacaan, dan sosialisasi dapat diketahui melalui pergaulan. Tentu saja ada keragaman antarpribadi; riwayat hidup seseorang dan intensitas penghayatan terhadap dua unsur itu tak dapat dihitung secara matematis.

Sensibilitas politik mengandaikan keduanya bersifat politis, sehingga bagi seseorang tak ada keraguan sedikit pun pada kausalitas politik. Sementara itu sensibilitas struktur menerima informasi dan pergaulan yang beragam, sehingga analisis sosialnya tak tunggal, tidak deterministis. Informasi rupanya sangat berpengaruh pada analisis. Anggota-anggota PRD yang mesti tak terlalu besar untuk diseminasi sebuah informasi, kesamaan pemahaman dapat diharapkan. Umur, pendidikan, dan pengalaman mereka relatif sama. Oleh karena itu wajar kalau PRD dan organisasi di bawahnya mengambil politik sebagai determinan, yaitu percaturan kekuasaan sehari-hari,

Sering orang-orang politik, terutama pemuda dan mahasiswa, melihat seolah-olah orang-orang nonpolitik tak punya komitmen. Memang kadang-kadang ternyata insting orang dengan sensibilitas politik betul. Pada tahun-tahun 1945 dan 1965, pemuda berpolitik cepat bergerak. Tanpa sensibilitas politik yang tinggi, Proklamasi dan penumpasan G-30-S tak akan terjadi. Barangkali, kerusuhan 27 Juli 1996 terjadi karena insting politik saja yang bekerja, tapi tak dikontrol rasio, sehingga terjadi perusakan, dan tak jelas arahnya.

Untuk menjelaskan perbedaan sensibilitas politik dan sensibilitas struktur, kita ambil contoh beberapa kasus dalam sejarah kontemporer. Orang-orang berpolitik meramaikan masalah ikatan cendekiawan. K.H. Abdurrahman Wahid di dalam dan di luar negeri menuduh ICMI yang berdiri pada 1990 bersifat sektarian dan primordial. Siswono Judohusodo mengatakan ICMI tak mempunyai wawasan kebangsaan. Orang-orang berorientasi struktur melihat ICMI lebih sebagai bukan urusan politik, tapi urusan struktur.

Jenis sensibilitas tak menentukan intensitas perbuatan. Adakalanya orang-orang dengan sensibilitas struktur cenderung pada kekerasan, sedangkan orang-orang dengan sensibilitas politik berbuat sebaliknya. Pada tahun 1965, orang Jakarta dengan sensibilitas politik yang tinggi meramaikannya sebagai konflik politik ABRI, Islam, dan PKI, tapi tak ada perang rakyat. Sementara itu, bagi orang di Jawa Timur yang mempunyai sensibilitas struktur, peristiwa 1965 dirasakan sebagai konflik kultural (santri vs abangan). Pada tahun 1945, Proklamasi Kemerdekaan mempunyai makna yang berbeda antara tempat dengan sensibilitas politik dan tempat yang mempunyai sensibilitas struktur. Di Jakarta, tak ada pembunuhan, meskipun tak diragukan orang-orang Jakarta mempunyai sensibilitas politik. Meskipun agak terlambat terjadi Peristiwa Cumbok di Aceh (uleebalang vs ulama) dan Peristiwa Tiga Daerah di Jawa Tengah bagian utara (priayi vs wong cilik). Sensibilitas struktur tak selalu berarti kejadian-kejadiannya lebih lunak, terbukti daerah dengan sensibilitas struktur lebih berdarah daripada pusat dengan sensibilitas politik pada 1965 dan 1945. Orang- orang dengan sensibilitas struktur bukannya tak punya komitmen, tapi komitmennya pada struktur, tidak pada politik.

Sensibilitas politik menekankan politik kekuasaan, sedangkan sensibilitas struktur mencari garis bawah dari peristiwa politik. Ada atau tak ada ICMI, kelas menengah muslim adalah kenyataan sejarah. Janganlah kita berpikir terlalu politis dalam semua hal. Dalam kaitan dengan ICMI berpikirlah struktural. Setidaknya mengenai ICMI, ada dua hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, ada perubahan struktural di bawah, berupa naiknya orang-orang sarungan dalam tangga sosial kita. Kedua, pada zaman industrial sekarang ini, yang menentukan kekuasaan bukan lagi hanya politik, tapi masih banyak yang lain, seperti bisnis, pendidikan, akademi, dan profesi.

Sekarang, soal hubungan sensibilitas politik dengan ideologi politik dalam kerusuhan 27 Juli 1996. Semua anggota PDI dari kedua kubu, pemimbar bebas, PRD, dan orang-orang yang terlibat bisa dipastikan mempunyai sensibilitas politik, sedangkan yang punya ideologi politik hanya PRD dan organisasi bawahannya. Jelas bahwa massa yang ambil bagian dalam kerusuhan paling banter hanya punya sensibilitas politik, tapi mereka tak punya ideologi politik. Mungkin para anggota PRD yang berideologi itu hanya ongkang-ongkang waktu terjadi kerusuhan yang dikerjakan massa. Persis pemberontakan 1926-1927 disebut sebagai pemberontakan komunis, padahal yang mengerjakan adalah para santri dan kiai di Banten dan Silungkang.

Ada beda sensibilitas politik dengan ideologi politik? Sensibilitas politik hanya suasana kejiwaan, tak rasional, tak sistematis, dan tak terarah. Sebaliknya, ideologi politik ialah cara berpikir, rasional, sistematis, dan terarah. Sensibilitas politik terbatas pada mengekspresikan perasaan tapi tak tahu apa yang harus dikerjakan selanjutnya. Ideologi politik tahu persis apa yang harus dikerjakan, urut-urutan, dan tahapan- tahapannya. Untuk mempunyai ideologi politik tertentu orang harus punya sensibilitas politik. Dengan kata lain, orang-orang PRD harus mempunyai sensibilitas politik, tapi massa yang mendukung kerusuhan 27 Juli 1996 tak perlu punya ideologi politik. Karena itu perlu dibedakan mereka yang punya sensibilitas politik dari mereka yang punya ideologi politik.

Tulisan ini ingin mengingatkan, jangan kita asyik memburu PRD dengan ideologi politik mirip komunis tapi lupa "memburu" penyebab timbulnya sensibilitas politik. Ibarat melihat papan tulis, kita asyik melihat titik-titik di papan, tapi lupa papan tulisnya. Kita mendukung tindakan tegas aparat, yang masih kita tunggu ialah tindakan yang sama tegasnya dalam menangani monopoli, oligopoli, korupsi, kolusi, kemiskinan, dan kesenjangan. Itu baru adil.!

* Sejarawan, pengamat politik

Robot tak Punya Khayalan

Budayawan Kuntowijoyo rampung menulis novel Impian Amerika. Puisi dan cerpennya divisualisasikan.

BEBERAPA lelaki mencebur ke kolam. Mereka yang berendam di malam yang dingin itu lalu bersahutan membaca puisi. Usai itu, penonton diajak ke dalam gedung. Duduk di lantai, ditebari lilin-lilin yang menyala. Dua lelaki berambut lebat, dibungkus tali-tali putih, tampak menari dengan gerak-gerik mengungkapkan rasa rindu. Sembari menengadah, mereka mengentakkan kaki, mendesah -- sebuah keberdayaan melawan kekerasan hidup.

Berikutnya, rombongan lelaki dan wanita berkostum putih membuat gerak ritmis diiringi musik mendayu. Cahaya lampu warna-warni menyirami tubuh mereka, yang kini menaiki tangga bambu. Sesampainya di puncak anak tangga, mereka menggapai- gapai seolah meraih kasih agung Allah. Terdengar desahan. Lalu, sepi. Seorang wanita membaca puisi, "Jantung berdetak. Menggugurkan impian. Dari balik sepi. Merpati putih. Hinggap di pucuk kabut. Ketahuilah: kau rindukan kekosongan."

Ini hanya khayal
Adegan terakhir berlangsung di panggung. Sepuluh lelaki berkostum hitam khusyuk membawa bunga-bunga, lalu duduk melingkar. Ada gadis berjilbab, menyirami bunga di dalam pot. Ada lelaki mengaji. Ketika cahaya menyorot, tampak patung karton yang digantung terbalik, berlumuran darah. Penonton terkesiap.

Lalu seorang lelaki bermonolog, "Di luar matahari membakar. Hilir mudik kendaraan. Orang berjalan ke sana-kemari memburu waktu. Pabrik-pabrik berdentang. Mesin berputar. Di pasar orang bertengkar tentang harga. Pemimpin meneriakkan semboyan, kosong. Anak-anak bertengkar berebut layang-layang. Mereka menipu diri sendiri. Hidup ditemukan dalam ketenangan, bukan dalam hiruk-pikuk dunia. Tataplah bunga-bunga itu. Hawa dingin menyejuk hatimu. Engkau menemukan dirimu."

Adegan-adegan dimainkan oleh kelompok Pandan Sembilan, studi sastra dan teater IKIP Yogyakarta, Kelompok Penari Sakral, dan Teater Eska. Itulah yang berlangsung di Taman Budaya, Yogyakarta, Senin pekan lalu. Keseluruhan pentas tadi didasarkan pada antologi puisi Suluk Awang-Awung dan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga karya Kuntowijoyo. Karena itu pula tontonan yang diselenggarakan dalam rangkaian Festival Kesenian Yogya itu diberi tajuk Malam Kuntowijoyo, yang mendapat gemuruh tepuk tangan penonton.

Kuntowijoyo, 53 tahun, alumnus Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (1969), kini mengajar di almamaternya, meraih gelar MA dari Universitas Connecticut (1973). Ia memperoleh gelar Ph.D dari Universitas Columbia.

Selama tiga bulan Kuntowijoyo dirawat di RS Sarjito, Yogyakarta. Kini ia hampir sembuh, dan pulang ke rumahnya. Ayah dua anak itu menerima Kastoyo Ramelan dari Gatra, untuk sebuah wawancara. "Saya terus menulis," ujarnya. Hasilnya, sebuah novel baru berjudul Impian Amerika. Petikannya:

Mengapa Amerika menjadi tema dan ide novel Anda?

Cerita ini tentang 30 orang Indonesia yang datang ke New York. Masing-masing mempunyai latar belakang dan cita-cita yang berbeda. Mereka sama-sama tertarik Amerika karena punya impian Amerika. Impian itu adalah kebebasan, belenggu menjadi kemerdekaan. Mobilitas ekonomi, kemiskinan, menjadi kelimpahruahan. Tetapi, yang tersisa dari kebebasan itu, kebebasan jadi rusak, kafir, dan mati. Dalam novel ini orang akan diminta mengikuti 30 cerita yang alurnya beda. Dan pembaca ditanggung tak kehilangan jejak.

Bagaimana eksistensi penyair atau pengarang kita sekarang?

Penyair tidak semujur olahragawan atau artis. Meskipun penyair nasibnya buruk, masih lebih mampu menampilkan kepribadian Indonesia daripada teknologi, olahraga, dan kedokteran. Maka saya usul, mengangkat seni (yang kering uangnya) dengan subsidi dan promosi. Mungkin perlu semacam national endowment of art, yayasan nonprofit yang bergerak dalam seni, seperti KONI untuk olahraga.

Sastra kok tak populer?

Maksudnya sastra tak realistis karena hanya mengungkap khayalan? Khayalan penting dalam kehidupan. Bayangkan kehidupan orang tanpa khayalan, tanpa mimpi. Hanya robot yang tak punya khayalan. Tapi sastra lebih dari hanya khayal. Sastra adalah rekonstruksi dari realitas. "Sastra adalah strukturisasi pengalaman dan fenomenologi imajinasi, pembela moralitas," kata Ricard Kuhns. Novel membuat kita lebih arif. Kita bisa melihat realitas baru. Berbeda dengan sosiologi, novel dapat mengungkap data-data pribadi yang tak ada dalam sosiologi dan sejarah yang kolektif, dan mampu mengungkap data yang kasatmata.

Sastra dan seniman di Indonesia hanya memiliki publik khusus saja?

Sastra sebagai pembela moralitas. Barangkali itulah yang menjadikan sastra terpencil. Kesadaran akan keragaman manusia, banyak dimensi, tidak ideologis. Itu pula yang membedakan realisme kritis sekarang ini dari realisme sosialis di masa lalu. Realisme sosialis masa lalu kritis pada masyarakat borjuis dan afirmatif terhadap partai. Sedangkan realisme kritis masa kini masuk dalam budaya critical.

Bagaimana Islam dan seni? Atau lebih khusus lagi, bagaimana sikap Muhammadiyah (karena Anda tokoh Muhammadiyah) pada seni?

Sudah waktunya Muhammadiyah punya laboratorium budaya lokal. Sebab, selama ini gerakan puritanisme terbaca sebagai gerakan antibudaya. Saya bermimpi, suatu kali Muhammadiyah mengadakan festival kesenian lokal sehingga hapuslah sebuah stigma bahwa seolah-olah Muhammadiyah bertanggung jawab atas hilangnya kesenian lokal dari Islam.

Mudik di Mata Cerpenis

JUDUL BUKU : MUDIK, KUMPULAN CERPEN ; 
Pengantar : Mohamad Sobary ; 
Penerbit : Yayayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996, 
180 halaman ; 

RESENSI OLEH : FARUK.

Inilah kumpulan cerita pendek sejumlah cerpenis Indonesia tentang mudik. Mudik adalah kebahagiaan?

BEBERAPA tahun terakhir, mudik tampaknya telah menjadi persoalan nasional, yang melibatkan hampir semua sektor kehidupan, semua lapisan sosial. Sejak jauh hari Pemerintah telah menyiapkan berbagai aparatnya untuk menyambut ledakan mudik. Berbagai perusahaan pun ikut menyambut, entah perusahaan perhotelan, perusahaan transportasi, atau perusahaan mekanik dengan bengkel kendaraan bermotornya. Hampir semua media massa, cetak ataupun elektronik, meliput peristiwa mudik, mengangkat berbagai renungan tentang maknanya, dan bahkan mencoba mengkalkulasi biaya yang dikeluarkan untuknya.

Mudik Bareng
Mungkin itulah sebabnya, meskipun sedikit terlambat, penerbit Yogyakarta, Bentang Budaya, Februari ini menerbitkan kumpulan cerita pendek (cerpen) yang berjudul Mudik. Di dalamnya dimuat 10 cerpen yang dianggap menyangkut mudik dari tujuh cerpenis Indonesia, yang terbilang terkemuka: Mohamad Diponegoro, Kuntowijoyo, Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Achmad Munif, Yudhistira ANM Massardi, dan Mustofa W. Hasyim.

Apabila dilihat isi cerita yang terhimpun dalam kumpulan ini, sedikitnya ditemukan tiga cara pandang terhadap mudik. Pertama, cerpen yang melihatnya dalam konteks persoalan kehidupan keluarga, seperti yang diwakili oleh Pulangnya Sebuah Keluarga Besar karya Mohamad Diponegoro, Salam Lebaran karya Hamsad, dan Lebaran Kami karya Yudhistira. Kedua, cerpen yang melihatnya dalam konteks persoalan kehidupan sosial, seperti yang diwakili oleh Malam Takbir dan Reuni karya Hamsad, Parcel karya Achmad Munif, Wangon-Jatilawang karya Ahmad Tohari, dan dua cerpen Mustofa yang masing-masing berjudul Pengangkut Sampah di Malam Takbiran dan Mudik. Ketiga, cerpen yang memusatkan perhatiannya pada konteks persoalan kehidupan religius, seperti yang terlihat pada cerpen Kuntowijoyo berjudul Hati yang Damai: Kembalilah pada Tuhan.

Tentu saja pembagian ini semata-mata didasarkan pada kecenderungan dominan. Sebagai sebuah representasi mengenai kehidupan, dunia pengalaman, sebuah cerpen sesungguhnya cenderung menghadirkan kehidupan seutuhnya, bukan mengkonseptualisasikannya secara kategoris. Karena itu, di dalam cerpen kelompok pertama akan terkandung pula persoalan yang terdapat dalam kelompok kedua dan ketiga. Demikian pula sebaliknya.

Meskipun memperlihatkan perbedaan kecenderungan dominan seperti di atas, di dalam seluruh cerpen terdapat satu hal yang dapat dipastikan sama. Semuanya mengasumsikan bahwa mudik merupakan peristiwa persatuan kembali yang memberikan kebahagiaan yang luar biasa, yang hampir menakjubkan, entah dalam konteks persatuan antar-anggota keluarga, persatuan antar-kelompok sosial, ataupun persatuan antara manusia dan Tuhannya. "Bertemu kembali dengan anak perempuannya yang telah lama lenyap, Raden Sastrodisasro "berteriak" gembira, sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya," kata Mohamad Diponegoro. Masyarakat kampung, entah di mana, "Belum pernah mengira Kiai dapat begitu ramah pada lelaki yang selama ini telah mencemarkan kampungnya, tetapi yang sekarang telah bertobat," tulis Kuntowijoyo. Di Hari Lebaran, Suherman, cerita Hamsad, menemukan kebahagiaan "puncaknya" pada diri Sri yang setia menunggu. Yudhistira berkata, "Anak-anak itu tidak tahu, betapa bahagianya orangtua mereka saat itu!"

Ideologi keagamaan tentang Lebaran, ideologi sosial-budaya tentang mudik, yang semuanya menekankan paham tentang kebahagiaan untuk semua orang, rupanya meresap dalam pada para cerpenis kumpulan ini. Karena itu, cerpen-cerpen kelompok kedua kumpulan ini tiba-tiba menjadi semacam "kado" bagi yang menderita, usaha membuat mereka merasa bahagia. Pertama, mereka yang tersisih, yang dianggap tak bahagia itu, dianggap sebagai makhluk mulia, jujur, dan dekat pada Tuhan, meski secara ekonomi, sosial, politik, mereka tercampak. Inilah yang diutarakan Mustofa dan Tohari. Kedua, selalu ada jalan bagi mereka untuk memperoleh kebahagiaan apabila mereka mau bersabar, mengalah, dan taat pada tatanan hidup bersama. Inilah yang disampaikan Hamsad dengan Malam Takbir, Kuntowijoyo dengan Hati yang Damai. Mustofa dengan Mudik bahkan menganggap penderitaan dan kemiskinan sebagai rahmat yang membuat manusia menjadi kreatif untuk mencari jalan lain bagi pemuas kebutuhannya.

Hanya Munif yang melihat penderitaan tanpa akhir bagi orang tersisih dan tak berkuasa di tengah kebahagiaan religius dan kultural seluruh manusia di Hari Lebaran. Tapi pandangan Munif ini pun mendua dan cenderung kabur, seperti hanya didorong oleh keinginan membangun akhir cerita yang mengejutkan. Majikan, yang setiap malam menggerayangi istri anak buahnya, seperti tampil menjadi pemaaf terhadap anak buahnya yang telah menghukum perbuatan majikan tersebut dengan memotong tangannya. Kemenangan dan kebenaran, dalam konteks Lebaran, menjadi seakan ada di tangan si majikan.

Begitulah mudik di mata cerpenis dalam kumpulan ini. Saya sendiri tak percaya sepenuhnya dengan asumsi kebahagiaan di Hari Lebaran untuk semua orang yang terkesan di dalamnya. Namun cerpen ini tetap menarik, terutama dari segi penceritaannya yang lancar. Karena soal kebahagiaan adalah soal suasana hati, cerpen kumpulan ini saya anggap sudah mengangkatnya dengan baik, terutama melalui banyaknya pelukisan suasana alam, suasana lingkungan, dan suasana tempat. Hanya cerpen Yudhis yang terasa janggal. Soal kebahagiaan diceritakan dengan cara cerita detektif yang sangat rasional-analitis. Sayang.

Dr. Faruk
Dosen Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Petualangan Kecil

PADA BULAN PUASA MANUSIA DILARANG MENGUMBAR NAFSU DAN MENAHAN MARAH. 

PENULIS : KUNTOWIJOYO.

SEORANG ayah menggandeng anak gadisnya yang masih kecil memasuki sebuah rumah sakit. Di tangannya ada sebuah bungkusan panjang berisi bunga. Alangkah repot hari-harinya. Dia harus menghadapi bulan puasa sendirian. Istrinya beristirahat di rumah sakit selama seminggu. Sebabnya sederhana: istrinya harus dioperasi sekadar untuk meyakinkan bahwa benjolan di punggung bukanlah tumor ganas. Sesampai di rumah sakit, ia menaruh bunga dalam vas. Lalu laki-laki itu mengambil bunga di atas meja, dan memberikannya kepada putrinya.

"Tinggallah di luar. Kau kan sedang berpuasa, tidak boleh mendengarkan omongan yang tak patut."

Setelah putrinya keluar, laki-laki itu akan mencium istrinya, tapi istrinya bilang, "Jangan, ah. Aku tahu kau bukan nabi, kau kan sedang berpuasa." Laki-laki itu mengurungkan niatnya.

Adapun di luar, gadis kecil itu sambil menenteng bunga di tangan memutuskan untuk berjalan-jalan ke ruang perawat.

"Aku ingin bertanya," kata gadis kecil itu, "kenapa perawat suka menyuntik orang tidak bersalah?"

Mungkin pertanyaan itu terlalu sulit, atau mungkin jawabannya terlalu berbelit-belit, sehingga tidak akan dimengerti gadis sekecil itu. Seorang perawat menyilangkan tangan di mulut dan berkata:

"Kami kan sedang berpuasa."

Gadis kecil itu terus berjalan. Seorang perempuan dengan apron putih di atas seragamnya yang abu-abu sedang mendorong gerobak makanan. Gadis kecil ini mencegat perempuan itu dan bertanya, "Kenapa orang sakit harus minum kacang hijau setiap hari?"

Perempuan itu berhenti mendorong gerobak makan, menyeka keringatnya di dahi dengan belakang telapak tangannya, membetulkan dandanan rambutnya dan menjawab:

"Kami kan sedang berpuasa."

Kemudian ia meneruskan pekerjaannya.

Gadis kecil itu heran kenapa semua orang dewasa selalu menjawab dengan cara yang sama. Dia berlalu dari tempat itu dan menuju ke taman. Seorang laki-laki sedang mendorong traktor tangan di atas rumput. Air berputar-putar muncrat dari sebuah pipa di tanah secara teratur. Gadis kecil itu mengharapkan laki-laki ini akan memberi jawaban yang lain. Ia mendekat dan bertanya, "Kenapa rumput mesti dipotong?"

Laki-laki itu menghentikan traktornya.

"Kami kan sedang berpuasa," katanya.

Tidak puas dengan jawaban itu, gadis kecil beranjak dari taman. Ia menuju ke tanah luas yang dipakai sebagai tempat bermain-main. Ditemukannya seorang anak laki-laki sedang menangis.

"Kok menangis, ada apa?"

"Layang-layang saya putus."

"Jangan menangis. Kita kan sedang berpuasa."

Seperti sebuah keajaiban, anak laki-laki itu berhenti menangis. Puas dengan hasil kerjanya, gadis kecil itu pergi. Di tempat itu pula ditemukannya beberapa anak laki-laki sedang bermain bola. Napas mereka terengah-engah karena berlarian. Pikir gadis itu, mereka pasti sedang memperebutkan sesuatu. Gadis kecil mendekati seseorang, lalu bertanya, "Apa yang kalian perebutkan?"

"Bola!"

"Berebut itu tak baik. Kita kan sedang berpuasa."

Kata-katanya itu dibawa angin, sehingga anak yang berada di tempat jauh pun mendengar. Ajaib! Mereka berhenti bermain.

Gadis itu ingat, ayahnya pasti sudah selesai dengan omongan yang tak patut didengar anak kecil, dan memutuskan untuk kembali.

Ganti cerita, yang di sal rumah sakit. Ketika sang ayah ingat anak gadisnya, dicarinya dia di kursi panjang rumah sakit. Ternyata anaknya tidak ada. Ia panik, dan merasa bersalah.

"Jangan gelisah. Kau kan sedang berpuasa," kata istrinya.

Heran, kata-kata istrinya itu membuatnya tenang. Ketika itulah anak gadisnya muncul. Dilihatnya sang ayah duduk di kursi panjang sambil menoleh-noleh.

"Jangan marah, Ayah. Kita kan sedang berpuasa. Pelajaran hari ini sangat penting, kok."

Sang ayah mengajak gadis kecilnya ke dalam, dan mengatakan bahwa waktu berkunjung sudah habis. Ia menyuruh anaknya mencium tangan ibunya. Tetapi anak itu menggeleng.

"Kenapa?" tanya sang ayah.

"Aku kan sedang berpuasa."

Seperti kena sihir, orangtuanya tertawa.

"Sudahlah. Sana pergi," kata ibunya.

Hari itu jadi salah satu hari yang paling indah dalam hidupnya.

* Budayawan dan dosen Fakultas Sastra UGM

Demokrasi dan Budaya Birokrasi

JUDUL : DEMOKRASI DAN BUDAYA BIROKRASI 
PENGARANG : DR KUNTOWIJOYO 
PENERBIT : YAYASAN BENTANG BUDAYA YOGYAKARTA

Buku ini membahas berbagai persoalan mendasar bangsa kita. Tapi terkerangka dalam pemikiran tentang masyarakat Industri.

SEBENARNYA yang terjadi selama ini, sejak Orde Baru, adalah proses modernisasi dalam pergulatan. Namun, modernisasi, sejak diperkenalkan pada belahan kedua dasawarsa 1960, sudah mendapat tantangan maupun tentangan. Kesan pejoratif lalu menempel pada istilah modernisasi.

Karena itu, orang cenderung untuk tak memakai istilah itu. Lalu diganti dengan pembangunan. Bagi Dr. Kuntowijoyo, salah seorang penganjur modernisasi, pemba-ngunan sama saja pengertiannya dengan modernisasi itu. Keduanya mengandung tiga aspek: rasionalisasi, demokrasi, dan nasionalisme. Dan ketiganya menjadi acuan ideologi golongan menengah di In- donesia.

Proses rasionalisasi terjadi dengan sikap meninggalkan cara berpikir mistis dan kepercayaan magis untuk digantikan dengan cara berpikir ilmiah. Rasionalisasi adalah juga penerapan per- hitungan untung-rugi dalam kegiatan ekonomi. Juga hubungan- hubungan berdasarkan kontrak dalam perdagangan dan industri. Dengan tiga cara berpikir itu, masyarakat bergerak dari kondisi agraris ke urban-industrial.

Demokratisasi dilakukan dengan meninggalkan orientasi pada status. Juga diwujudkan dengan menggalang partisipasi rakyat banyak dalam proses pengambilan keputusan. Tentu saja rakyat yang paling di bawah tak bisa secara langsung ikut dalam proses itu. Mereka diwakili oleh golongan menengah.

Nasionalisme di Indonesia pada mulanya adalah nasionalisme kultural sebagaimana yang diperlihatkan oleh Budi Utomo, yang didirikan pada 1908, sebagai organisasi kaum profesional In- donesia yang pertama. Tapi corak nasionalisme itu berubah dengan cepat menjadi nasionalisme politik yang menuntut kemer- dekaan dari penjajahan dan membentuk negara bangsa (nation- state).

Terhadap ketiga unsur ideologi, Kunto ingin menambahkan dua lagi nilai modern yang diacu oleh golongan menengah Indonesia pada perempat abad ke-20. Pertama adalah egalitarianisme atau nilai-nilai persamaan. Nilai ini dianut, baik oleh golongan agama maupun nasionalis. Kunto di sini agaknya melupakan kepeloporan golongan sosialis atau komunis dalam egalitarianisme, bahkan egalitarianisme radikal.

Namun, dalam buku kumpulan karangan yang disunting Mustafa Q. Hasyim dengan judul Demokrasi & Budaya Birokrasi itu, Kunto mengakui bahwa cita egalitarianisme tak cukup merata dianut oleh golongan menengah. Kesan ini, sekali lagi, dikarenakan Kunto "melupakan" peranan aliran radikal dalam sejarah In- donesia. Sekalipun golongan sosialis dan komunis itu diingkari eksistensinya, dalam sejarah tidak bisa.

Cita kedua yang ingin ditambahkan ahli sejarah dari UGM, yang menulis disertasinya tentang Madura pada Universitas Columbia, itu adalah altruisme. Cita ini cukup kuat tertanam, terbukti dari kenyataan bahwa golongan menengah bekerja untuk kepentingan yang lebih luas dari kepentingan golongan menengah sendiri.

Terbentuknya birokrasi pada masa kemerdekaan telah memperluas golongan menengah dengan pegawai negeri sebagai birokrat baru. Ini terjadi akibat penerapan demokrasi liberal, lewat mana kekuasaan dapat digulirkan kepada berbagai kelompok politik, sehingga tidak ada penguasa negara yang permanen. Ini berakibat pencairan kelas atas.

Namun, kemudian terjadi pergeseran ke arah terbentuknya kelas baru secara permanen, karena terpisahnya pembagian kelas secara politik dan secara ekonomis. Ini menyebabkan menyusutnya golongan menengah secara kuantitatif maupun kualitatif. Hal yang disesalkan oleh Kunto dalam perkembangan peranan golongan menengah Indonesia selama 40 (sekarang 50) tahun terakhir: ter- jatuhnya golongan menengah menjadi rekanan lapisan atas kekuatan power elite, meminjam istilah Mills, dan mengerosinya pandangan dan sikap hidup altruistik menjadi egosentrik.

Kunto berpendapat tentang perlunya sebuah proses transformasi demokratis. Arus bawah merupakan faktor penting dalam mendorong proses itu. Namun, negara, betapapun punya peran sentral, hendaknya tak menjadi instrumen bagi sebagian kecil masyarakat untuk menguasai sumber-sumber ekonomi. Jika hal itu telah men- jadi kenyataan, maka yang diperlukan adalah suatu proses demok- ratisasi. Demokratisasi adalah juga pembagian surplus sosial secara adil dan merata.

Kunto melihat adanya tiga jenis demokrasi. Pertama adalah demokrasi politik. Demokrasi ini terwujud jika, dalam pembagian kekuasaan, masyarakat berada di atas negara. Kedua adalah demokrasi sosial, yang terjadi jika jaminan kesejahteraan warga negara mendapatkan alokasi memadai. Dan ketiga adalah demokrasi ekonomi, yang terwujud jika kekuasaan produktif berada di tangah bagian terbesar masyarakat.

Agaknya seluruh karangan Kunto ini terkerangka dalam pemikirannya tentang masyarakat industri. Dewasa ini Indonesia mengenal pasti beberapa gejala yang perlu dilihat secara kritis, misalnya dominasi teknostruktur terhadap masyarakat. Menuju masyarakat industri yang sejati, teknostruktur memer- lukan sosialisasi, demokratisasi, dan humanisasi. Ini merupakan tugas para pemimpin baru masyarakat industri.

Dawam Rahardjo